Gaza, Purna Warta — Krisis kemanusiaan di Gaza memasuki titik genting dimana lebih dari 1,9 juta warga—sekitar 90 % populasi—telah mengungsi sejak gelombang serangan awal Oktober 2023 berlangsung. Operasi militer Israel terus mendorong pengungsian massal, sementara organisasi internasional memperingatkan dampak jangka panjang bagi warga sipil.
Baca Juga : PBB Kirim Wakilnya ke Kongo, Survei Situasi Goma di Tengah Kendali M23
Menurut Human Rights Watch (HRW), perpindahan ini dilakukan secara sistematis tanpa alasan militer yang sah, melanggar hukum humaniter internasional, dan mencerminkan pembersihan etnis . “Evakuasi dipaksa, tanpa jalur aman, sering tiba-tiba, dan di tengah bombardir,” menurut laporan HRW .
Data terbaru OCHA mencatat lebih dari 142.000 orang mengungsi dalam seminggu terakhir Maret 2025, akibat perintah evakuasi yang terus bergulir serta serangan udara dan darat yang meningkat. Namun bantuan sangat terganggu—lebih dari 80 % permohonan bantuan ditolak, serta akses jalur logistik diblokir .
“Semua kebutuhan dasar menipis—makanan, air, bahan bakar, dan medis,” ungkap Jubir PBB Stephane Dujarric. Lebih 60 fasilitas kesehatan hancur atau tidak berfungsi, membuka pintu bagi krisis penyakit karena sanitasi terabaikan .
Cuaca dingin mendorong sistem kesehatan tumbang. Sebagian rumah rusak parah, membantu menciptakan kondisi tak layak di kamp pengungsian, bahkan saat temperatur turun mendekati 6 °C .
UNHCR memperingatkan bahwa dunia kini menyaksikan “pengungsian terbesar sejak Perang Dunia II”. Filippo Grandi, Kepala UNHCR, menyebut 123 juta orang kini terlantar global dari berbagai konflik—Gaza menjadi salah satu titik krisis terburuk.
Baca Juga : Iran Ancam Balas Jika Mekanisme Snapback Sanksi PBB Dihidupkan Lagi
Sementara itu, komunitas internasional bergulat menghadapi desakan penyelidikan atas dugaan “genosida” dan kejahatan perang, termasuk pengajuan ke Mahkamah Internasional. Namun jalur diplomasi berjalan lambat, sementara manusia jelata terus menjadi korban.