Purna Warta – Sejak Israel melancarkan serangan ke Jalur Gaza pada 7 Oktober 2023, rencana relokasi paksa warga Palestina dari wilayah tersebut segera disusun.
Hanya dalam waktu seminggu setelah perang dimulai, Kementerian Intelijen Israel merancang rencana relokasi 2,3 juta warga Gaza ke Semenanjung Sinai, Mesir. Proposal bertanggal 13 Oktober 2023 yang pertama kali diungkap oleh media lokal Sicha Mekomit ini mengusulkan pemindahan penduduk ke kamp-kamp sementara di Sinai utara, diikuti dengan pembangunan pemukiman permanen dan koridor kemanusiaan. Israel juga berencana membangun zona keamanan untuk mencegah warga Palestina yang terlantar kembali ke wilayah mereka.
Baca juga: Badai Al-Ahrar Setelah Badai Al-Aqsa
Meskipun pemerintah Israel menganggap rencana ini sebagai langkah terbaik untuk keamanan nasional mereka, proposal ini menuai kecaman keras dari Mesir dan Palestina. Perdana Menteri Israel Benjamin Netanyahu mencoba meredam isu tersebut, namun laporan Financial Times pada akhir Oktober 2023 mengungkapkan bahwa Netanyahu berupaya meyakinkan para pemimpin Eropa untuk menekan Kairo agar menerima pengungsi dari Gaza.
Meskipun Republik Ceko dan Austria mendukung gagasan tersebut dalam pembicaraan di tingkat Uni Eropa, negara-negara besar seperti Prancis, Jerman, dan Inggris menolaknya dengan tegas.
Kegagalan Strategi Israel
Perang di Gaza berlangsung selama lebih dari 15 bulan sebelum Israel akhirnya menandatangani kesepakatan gencatan senjata dengan Hamas pada 19 Januari 2025. Sepanjang konflik, Israel menewaskan lebih dari 47.200 warga Palestina dan menghancurkan sebagian besar infrastruktur di Gaza dengan tujuan membuat wilayah tersebut tidak layak huni.
Namun, keteguhan dan perlawanan rakyat Palestina berhasil menggagalkan rencana Israel. Hamas dan kelompok perlawanan lainnya terus bertahan meskipun menghadapi tekanan militer yang intens.
Sepanjang perang, Netanyahu berulang kali menyatakan bahwa tujuan Israel adalah menghancurkan Hamas dan memulangkan seluruh sandera. Namun, kenyataan di lapangan memaksa Israel menerima gencatan senjata karena kegagalan strategi militernya.
Usulan Kontroversial Donald Trump
Di tengah kegagalan Israel, Presiden AS Donald Trump kembali mengangkat gagasan pemindahan penduduk Gaza ke negara-negara tetangga. Dalam pernyataannya di atas pesawat kepresidenan Air Force One, Trump mengusulkan relokasi warga Gaza ke Mesir dan Yordania, dengan alasan bahwa wilayah tersebut kini telah hancur akibat perang.
“Gaza kini seperti lokasi pembongkaran besar-besaran. Hampir semuanya hancur dan orang-orang sekarat di sana,” ujar Trump. “Saya lebih memilih bekerja sama dengan negara-negara Arab untuk membangun perumahan di lokasi lain, di mana mereka bisa hidup damai untuk perubahan.”
Trump juga menambahkan, “Saya ingin Mesir menerima sekitar satu setengah juta orang dan membersihkan seluruh wilayah Gaza.” Ia bahkan meminta Raja Abdullah II dari Yordania untuk mempertimbangkan menerima lebih banyak pengungsi.
Pernyataan Trump ini segera menuai kecaman keras dari berbagai pihak, terutama kelompok perlawanan Palestina.
Reaksi Palestina dan Kritik Internasional
Gerakan Jihad Islam Palestina (PIJ) mengecam pernyataan Trump, dengan menyebutnya sebagai dukungan terhadap kejahatan perang dan kejahatan terhadap kemanusiaan karena mendorong pemindahan paksa rakyat Palestina dari tanah mereka. PIJ menilai bahwa usulan Trump sejalan dengan agenda kelompok Zionis ekstrem yang ingin menghapus identitas dan hak rakyat Palestina.
Kelompok Hamas juga mengutuk keras pernyataan tersebut. Bassem Naim, anggota biro politik Hamas, menegaskan bahwa rakyat Palestina telah berulang kali menggagalkan upaya relokasi paksa selama beberapa dekade dan akan terus menentang setiap rencana serupa.
Usulan Trump ini mengingatkan pada peristiwa Nakba tahun 1948, ketika lebih dari 750.000 warga Palestina diusir dari rumah dan tanah mereka setelah berdirinya Israel. Pernyataan Trump dianggap sebagai dukungan terhadap upaya pembersihan etnis baru yang berusaha dilakukan Israel.
Setelah lebih dari 15 bulan perang yang brutal, Israel harus menghadapi kenyataan bahwa upaya untuk menghancurkan perlawanan Palestina dan mengusir penduduk dari Gaza adalah perjuangan yang sia-sia. Keteguhan rakyat Palestina dalam mempertahankan hak mereka membuktikan bahwa rencana pemindahan paksa tidak akan berhasil.
Sementara Trump terus mendorong gagasannya, realitas di lapangan menunjukkan bahwa skenario ini tidak hanya tidak realistis, tetapi juga bertentangan dengan hak asasi manusia dan prinsip hukum internasional. [MT]