Terkait hukum jilbab di Iran, pejabat Iran ini menjelaskan, “Konstitusi Iran memang mewajibkan penggunaan jilbab namun penerapannya tidak seketat yang dibayangkan. Karena itu, kita melihat tidak sedikit perempuan Iran yang dalam menggunakan jilbab tetap memperlihatkan sebagian dari rambutnya. Penggunaan cadar sangat sedikit kita dapatkan di Iran untuk tidak mengatakannya tidak ada sama sekali.”
“Untuk mereka yang belum menggunakan jilbab sebagaimana mestinya, ada satuan tugas yang bertugas untuk memberikan bimbingan dan penyuluhan. Namanya Gusht-e Irsyad, yang artinya adalah patroli bimbingan atau polisi moral. Jadi tugasnya hanya sebatas memberikan penyadaran akan pentingnya jilbab dikenakan di ruang publik bagi perempuan dewasa. Tidak dibenarkan satuan unit ini melakukan pemaksaan dan kekerasan dalam menjalankan tugasnya.” Paparnya.
Pada bagian lanjutan pembicaraannya, Hakiemillahi kemudian menjelaskan posisi dan kedudukan perempuan Iran di hadapan konstitusi Iran. “Laki-laki dan perempuan sebagai warga negara Iran memiliki kedudukan yang sama di hadapan konstitusi. Perempuan pun dapat dipilih dan juga berhak memilih orang-orang yang bertugas membuat undang-undang. Di bidang politik, perempuan-perempuan Iran bahkan menduduki level-level tinggi. Diantara mereka ada yang menjadi wapres, menteri, kepala daerah sampai duta-duta besar.” Ungkapnya.
“Di parlemen juga jumlah perempuan cukup signifikan. Di bidang pendidikan, 61% yang berkuliah di perguruan tinggi adalah perempuan. Ini menunjukkan masa depan Iran, akan diurus lebih banyak dari perempuan yang akan lulus dari perguruan-perguruan tinggi tersebut yang akan mengisi ruang-ruang kerja. Perempuan berhak memilih jurusan dan program studi apapun yang dikehendaki, termasuk jurusan tekhnik sipil dan dirgantara. Lebih dari 100 ribu dokter perempuan yang 6 ribu diantaranya adalah dokter ahli. Guru-guru besar di Universitas 40 % dari professor perempuan. Di ajang-ajang olimpiade sains, selalu perempuan yang meraih medali untuk Iran, begitupun di bidang olahraga, atlit-atlit perempuan Iran terhitung berprestasi di ajang pertandingan internasional.” Tambahnya.
“Dengan semua data-data tersebut, menunjukkan perempuan Iran tidak dibatasi dan tidak memiliki perbedaan dengan laki-kaki dalam membaktikan kemampuannya dalam pembangunan negara.” Tutupnya.
Webinar Nasional yang diikuti seratus lebih peserta ini juga menghadirkan, Dr. Dina Y Sulaeman, dosen Hubungan Internasional Universitas Padjadjaran Bandung, Ismail Amin, MA dan Hasan Zakariya MA keduanya adalah mahasiswa program doktoral Universitas Internasional al-Mustafa Iran. Berlangsung selama 3 jam, webinar ini digelar oleh PUSKABI bekerjasama dengan ICC Jakarta, IPI Iran dan HPI.
Disebutkan Mahsa Amin adalah seorang gadis 22 tahun Iran yang meninggal dunia pada 16 September 2022. Ia jatuh tidak sadarkan diri saat berada dalam kelas bimbingan usai ditahan oleh Kepolisian Moral Iran di Tehran sebab dinilai melakukan pelanggaran pada aturan berjilbab. Kematiannya memicu rangkaian protes di dalam dan diluar Iran sebab disebutkan penyebab kematiannya adalah akibat kekerasan fisik dari aparat yang menahannya. Meski hasil investigasi menyebutkan penyebab kematian karena penyakit bawaan yang dideritanya, media-media anti Iran tetap dengan gencar melakukan provokasi yang memicu terjadinya berbagai kerusuhan di sejumlah kota di Iran.