Financial Times mengajukan pertanyaan dalam sebuah judul laporannya, “Bisakah dolar tetap menjadi raja mata uang?”.
Ketika para ekonom mencoba menjelaskan peran penting dolar sebagai satu-satunya mata uang global, mereka menunjuk pada faktor struktural seperti pangsa AS dalam produk domestik bruto (PDB) global atau kedalaman dan likuiditas pasar keuangan negara tersebut.
Surat kabar Inggris itu melanjutkan, pendekatan ini adalah dasar dari pandangan optimis banyak pelaku pasar keuangan yang percaya bahwa apa pun yang terjadi, selama Amerika Serikat tetap menjadi ekonomi terkemuka di dunia, maka dolar akan tetap menjadi tempat berlindung yang aman.
Laporan tersebut menekankan bahwa kekuatan mata uang internasional tidak hanya bergantung pada angka dan data ekonomi, tetapi juga pada kebijakan dan tindakan politisi, yang dapat memperkuat atau melemahkan posisi ini.
Financial Times menjelaskan,”Orang-orang inilah yang mengambil langkah penting untuk membangun lembaga yang menjadikan dolar sebagai mata uang internasional, dan orang-orang inilah yang pada akhirnya akan menentukan apakah lembaga-lembaga ini bertahan atau binasa”.
Surat kabar itu menambahkan bahwa pemerintahan kedua Presiden AS Donald Trump mengingatkan kita bahwa “angka mentah” hanya dapat mengungkapkan kebenaran sebagian, yang berarti bahwa kebijakannya telah memberikan dampak signifikan pada ekonomi global dan posisi dolar yang tidak dapat diprediksi hanya dengan menganalisis data ekonomi seperti pangsa AS terhadap PDB.
Menurut IRNA, saluran TV Al Jazeera sebelumnya menilai dalam sebuah analisisnya bahwa penerapan kebijakan tarif Donald Trump untuk mencapai tujuan ekonomi memiliki banyak konsekuensi jangka panjang, dan menulis, “Kebijakan ini dapat menghancurkan hegemoni global dolar AS”.
Analisis tersebut menyatakan,”Pemerintahan kedua Trump dimulai dengan badai perubahan di Washington dan hubungan Amerika dengan dunia dari pengenaan tarif pada Kanada, sekutu lamanya, bahkan lebih tinggi dari tarif yang dikenakan pada Cina, hingga aksi peningkatan pendudukan AS atas Gaza, ancaman akan mencaplok Greenland, dan menghubungi Presiden Rusia Vladimir Putin dengan tujuan mengakhiri perang di Ukraina”.
Meskipun media tersebut tidak menganggap tarif yang diberlakukan selama pemerintahan kedua Trump sebagai kejutan terbesar dalam kebijakan luar negerinya, mereka mencatat bahwa tindakan ini dapat menimbulkan banyak konsekuensi ekonomi jangka panjang.