Tehran, Purna Warta – Menurut laporan Kantor Berita Lokal di Iran, perjanjian gencatan senjata antara Hamas dan rezim Israel di Jalur Gaza, yang dimulai lebih dari dua minggu lalu, telah berulang kali dilanggar oleh pasukan pendudukan.
Langkah ini merupakan titik harapan bagi wilayah Gaza yang terkepung, setelah dua tahun perang destruktif yang menghancurkan hampir seluruh aspek kehidupan.
Namun demikian, warga Gaza masih belum yakin apakah perang benar-benar berakhir, atau justru hanya terhenti sementara menjelang babak baru konflik.
Gencatan Senjata Belum Cukup untuk Mengakhiri Krisis Kemanusiaan
Para analis Palestina dan Israel menegaskan bahwa meski gencatan senjata memberikan secercah harapan bagi lebih dari 2,3 juta warga Gaza yang lelah karena kelaparan, blokade, dan pemboman, namun langkah ini belum cukup untuk mengakhiri penderitaan.
Keberhasilan menuju stabilitas sejati memerlukan komitmen politik yang kuat dan upaya diplomatik internasional yang berkelanjutan, karena perjanjian saat ini tidak menyentuh akar krisis Gaza.
Mereka memperkirakan sejumlah kemungkinan: mulai dari stagnasi pada tahap pertama, pelanggaran terus-menerus oleh Israel, hingga kembalinya perang penuh bila upaya mediasi internasional dan regional gagal menjaga kesepakatan tersebut.
Faktor Penentu Keberhasilan Gencatan Senjata Gaza
Para pengamat menilai bahwa keberhasilan kesepakatan ini bergantung pada beberapa langkah utama:
Pengawasan internasional yang efektif serta intervensi segera jika terjadi hambatan dalam pelaksanaan perjanjian.
Distribusi cepat bantuan kemanusiaan sesuai kesepakatan, serta penarikan Israel dari wilayah yang telah ditentukan.
Penolakan terhadap pengelolaan eksternal (foreign trusteeship) dan pengakuan atas peran perlawanan Palestina dalam masa transisi.
Baca juga: Terbongkar Komandan “Kekaisaran Vampir” AS-Israel di balik pembunuhan Hind Rajab
Penyatuan Gaza dan Tepi Barat, serta penghentian kebijakan status quo yang diberlakukan Israel.
Skenario Masa Depan Gencatan Senjata Gaza
Para analis memproyeksikan sejumlah skenario sebagai berikut:
Kelanjutan gencatan senjata dengan pelanggaran berulang oleh Israel.
Kebuntuan politik dan kemanusiaan akibat stagnasi tahap pertama.
Kembalinya perang, jika mediasi internasional gagal mempertahankan kesepakatan.
Upaya Israel memperluas pendudukan dan menghapus peran perlawanan Palestina.
Kemajuan lambat gencatan senjata, bergantung pada dinamika politik internal Israel dan kondisi regional.
Konteks Lahirnya Gencatan Senjata
Kesepakatan ini tercapai di tengah situasi kemanusiaan yang sangat parah dan meningkatnya tekanan global untuk menghentikan mesin pembunuh Israel yang telah menghancurkan Gaza selama dua tahun terakhir.
International Crisis Group dalam laporannya bertajuk “Gencatan Senjata di Gaza Sangat Penting, Namun Baru Permulaan” menyatakan bahwa faktor pemicu utama kesepakatan ini adalah serangan udara Israel terhadap kantor perunding Hamas di Doha, Qatar, pada 9 September 2025.
Upaya pembunuhan yang gagal terhadap pimpinan Hamas di Doha memicu kemarahan Qatar dan sejumlah negara Arab, yang kemudian menyatukan upaya diplomatik dengan Mesir dan Turki.
Negara-negara tersebut menilai bahwa biaya agresi Israel kini telah melampaui batas yang dapat ditanggung kawasan, dan tidak lagi terbatas pada rakyat Palestina saja.
Peran Para Mediator dan Tekanan Global
Menurut Arib al-Rintawi, Direktur Pusat Kajian Politik Al-Quds, perjanjian ini lahir di bawah tekanan besar dari mediator Arab dan pihak internasional, dan kelangsungannya bergantung pada kemampuan mereka menekan Israel jika rezim tersebut mencoba menggagalkan kesepakatan.
International Crisis Group juga menegaskan bahwa gencatan senjata Gaza bukan hasil kesepakatan langsung Hamas dan Israel, melainkan hasil tekanan dari pemerintahan AS dan para mediator.
Oleh karena itu, masa depan kesepakatan ini sangat bergantung pada posisi yang akan diambil Washington.
Sementara itu, Mohammad Ghazi al-Jamal, pakar politik Arab, menilai bahwa perjanjian ini terjadi karena perang telah kehilangan makna bagi kedua pihak.
Perlawanan berusaha melindungi rakyatnya dari genosida, sementara Amerika Serikat mencari pencapaian politik untuk meredakan tekanan terhadap sekutunya.
Namun pemerintah ekstrem kanan Israel tidak memiliki keinginan nyata untuk mempertahankan gencatan senjata.
Kerapuhan Gencatan Senjata dan Syarat Keberlanjutan
Analis lain, Hossam Shaker, menyebut bahwa meski semua pihak membutuhkan gencatan senjata — bahkan jika bersifat sementara — Israel justru menggunakannya untuk beristirahat sejenak tanpa memberi konsesi berarti.
Sejarah menunjukkan bahwa Israel segera melanggar kesepakatan begitu kondisi berubah.
Mayoritas pakar menegaskan bahwa keberlanjutan gencatan senjata bergantung pada komitmen politik nyata, karena laporan Crisis Group menilai perjanjian ini tidak memiliki mekanisme pelaksanaan yang jelas maupun jaminan internasional yang kuat, sehingga tidak dapat menjamin akhir perang secara permanen.
Apakah Perang Gaza Akan Dimulai Lagi?
Para pengamat menilai skenario paling mungkin adalah gencatan senjata berhenti di tahap awal, karena Israel menolak kehadiran permanen pengawas internasional di Gaza.
Kondisi ini bisa menyerupai situasi pascaperang Lebanon — yaitu ketenangan rapuh disertai pelanggaran terus-menerus.
Skenario lain adalah manajemen jangka panjang krisis tanpa solusi permanen, di mana bantuan kemanusiaan masuk ke Gaza, tetapi tanpa kejelasan politik mengenai masa depan wilayah tersebut atau hubungannya dengan Tepi Barat.
Tidak dilibatkannya rakyat Palestina dalam pemerintahan dan rekonstruksi juga berpotensi memperdalam krisis, terutama jika Israel tetap menguasai sebagian besar wilayah Gaza.
Kesimpulan
Para analis sepakat bahwa nasib gencatan senjata Gaza bergantung pada kemampuan komunitas internasional dan mediator regional untuk menekan Israel, serta pada perubahan nyata dalam lanskap politik Israel dan global.
Jika tidak, Gaza akan tetap terjebak dalam kondisi rapuh dan terkuras perlahan, dengan bayangan perang genosida yang sewaktu-waktu dapat kembali menghantui wilayah tersebut.


