Manama, Purna Warta – Menurut laporan portal berita Al-Khaleej, artikel itu menguraikan lima perubahan mendasar dalam peta keseimbangan internasional yang muncul seiring meningkatnya pengakuan terhadap negara Palestina oleh berbagai negara menjelang sidang Majelis Umum PBB. Meskipun pengakuan internasional terhadap Palestina dapat mengubah persamaan kekuatan konflik, pengakuan tersebut—yang oleh sebagian pihak dipandang sekadar langkah diplomatik—dapat mempunyai konsekuensi mendalam terhadap konflik yang telah berlangsung puluhan tahun dan menempatkan rezim Israel di bawah tekanan internasional yang meningkat, khususnya di tengah perang menghancurkan di Gaza dan perluasan permukiman di Tepi Barat. Namun para pengamat menekankan bahwa bila pengakuan tidak disertai langkah-langkah praktis untuk mendukung rakyat Palestina, maka pengakuan itu akan tetap bersifat simbolis.
Baca juga: Gelombang Besar Protes “Tanpa Raja” Melawan Trump di Seluruh Amerika Serikat dan Eropa
Unsur-unsur dasar pengakuan Palestina
Negara Palestina telah mendapat pengakuan diplomatik yang luas, memiliki perwakilan asing, dan bahkan tim olahraga yang tampil di Olimpiade, tetapi pada kenyataannya tidak memiliki batas wilayah yang disepakati, ibu kota yang benar-benar diakui secara universal, ataupun angkatan bersenjata. Pendudukan Tepi Barat oleh Israel dan perang menghancurkan di Gaza menyebabkan Otoritas Palestina kehilangan kendali penuh atas rakyat dan wilayahnya. Dari pengakuan internasional yang baru-baru ini mengemuka, muncul lima poin kunci:
Dimensi hukum pengakuan
Ahli hukum internasional kepada The New York Times menegaskan bahwa pengakuan Palestina menciptakan kewajiban hukum bagi negara-negara yang mengakuinya: menghormati integritas teritorial Palestina, mengakui hak negara tersebut untuk membela diri, dan tunduk pada putusan Mahkamah Internasional, mengingat pendudukan merupakan pelanggaran nyata terhadap hukum internasional.
Pengakuan tidak mengubah realitas di lapangan
Meski pengakuan tidak langsung mengubah situasi di lapangan, hal itu menempatkan Israel dalam tekanan relatif yang berat. David Lammy, mantan Menteri Luar Negeri Inggris, mengingatkan PBB akan tanggung jawab historis Inggris sejak Deklarasi Balfour 1917, yang mendukung pembentukan rumah nasional bagi orang Yahudi dengan syarat tidak merugikan hak penduduk non-Yahudi. Namun, dukungan Inggris terhadap Israel masih berlanjut dan belum menunjukkan pengurangan signifikan.
Hambatan besar: perluasan permukiman
Pengakuan Palestina menghidupkan kembali wacana solusi dua negara—negara Palestina merdeka di Tepi Barat dan Gaza dengan Yerusalem Timur sebagai ibu kota—berdampingan dengan Israel. Namun perluasan permukiman Israel—sekitar 600.000 unit pemukim di Tepi Barat dan Yerusalem Timur—mengubah penetapan batas menjadi hambatan besar bagi setiap perjanjian masa depan.
Tanggung jawab yang meningkat bagi Palestina
Pengakuan menempatkan Otoritas Palestina pada tuntutan tanggung jawab yang jauh lebih besar untuk membuktikan kemampuannya mengelola negara: diperlukan reformasi serius, kontrol administratif dan keamanan, yang akan diuji di lapangan.
Isolasi Washington dan Tel Aviv terhadap mayoritas internasional
Amerika Serikat pada April 2024 memveto resolusi yang memberi Palestina keanggotaan penuh di PBB, meskipun 12 negara menyetujui dan Inggris serta Swiss abstain—menandai AS sebagai penghalang utama. Meski demikian, lebih dari 140 negara kini mengakui Palestina, langkah yang memperdalam isolasi politik Washington dan Tel Aviv.
Baca juga: Hamas Berjanji Patuhi Gencatan Senjata Gaza, Sementara Pejabat AS Khawatir Israel Ingkar Janji
Beberapa analis, seperti Elliott Abrams, menilai pengakuan sebagai langkah politik domestik tanpa manfaat praktis bagi Palestina. Namun analis lain, termasuk Julie Norman dari RUSI, berpendapat pengakuan itu merupakan respons terhadap kekerasan Israel dan penolakan rezim tersebut terhadap solusi dua negara.
Jarak jauh menuju pembentukan negara Palestina
Terlepas dari deretan pengakuan, para analis menilai pembentukan negara Palestina merdeka kini lebih jauh dari sebelumnya. Kebijakan berkelanjutan rezim Israel dalam memperluas permukiman dan menegakkan realitas militer di lapangan membuat gagasan solusi dua negara hampir mustahil. Kabinet Israel saat ini—yang digambarkan sebagai yang paling ekstrem dalam sejarah rezim—secara terbuka menentang negara Palestina. Menteri-menteri seperti Bezalel Smotrich dan Itamar Ben-Gvir menyatakan bahwa perluasan permukiman akan meniadakan setiap prospek negara Palestina.
Kini lebih dari 700.000 pemukim Israel tinggal di Tepi Barat dan Yerusalem Timur, komunitas yang menurut hukum internasional dianggap ilegal. Proyek-proyek permukiman besar seperti proyek E1 yang baru-baru ini diluncurkan mengubah Tepi Barat menjadi kepulauan Palestina yang terpisah-pisah—dikelilingi rintangan dan jalan militer Israel—yang semakin menghalangi kelayakan pembentukan negara Palestina yang terhubung secara teritorial.