Apartheid Nuklir oleh IAEA: Bungkam atas Dimona, Tekanan terhadap Iran

Nuklir

New York, Purna Warta – Agresi rezim Zionis terhadap Republik Islam Iran—yang dilakukan dengan koordinasi penuh dan keterlibatan langsung pemerintah Amerika Serikat—langsung memicu perdebatan global mengenai rezim non-proliferasi nuklir dan peran IAEA dalam mempertahankan ketimpangan tersebut.

Baca juga: Siprus dalam Cengkeraman Zionis: Akankah Bencana Pendudukan Palestina Terulang di Eropa?

Konflik ini menyingkap bahwa tujuan sesungguhnya dari sistem non-proliferasi nuklir adalah untuk memperkuat dominasi dan imperialisme Barat atas dunia, menekan bangsa-bangsa lain, serta memonopoli ilmu pengetahuan dan teknologi nuklir di bawah kendali kekuatan Barat.

Menjelang pecahnya perang 12 hari, IAEA bersama Dewan Gubernurnya mengeluarkan sebuah resolusi yang menuduh Iran melanggar komitmennya terkait batasan pengayaan uranium dan kurangnya kerja sama dalam inspeksi oleh IAEA.

Beberapa jam setelah resolusi tersebut dikeluarkan, rezim Zionis—satu-satunya entitas bersenjata nuklir di kawasan dan bukan penandatangan Traktat Non-Proliferasi Nuklir (NPT)—meluncurkan serangan terhadap fasilitas nuklir Iran, yang merupakan anggota resmi IAEA.

Insiden ini memperjelas peran IAEA dalam membenarkan agresi rezim Zionis dan mendukung monopoli senjata nuklir, sekaligus mengancam negara-negara lain. Direktur Jenderal IAEA, Rafael Grossi, hanya memberikan pernyataan singkat berupa “keprihatinan mendalam” atas serangan terhadap warga sipil dan fasilitas nuklir Iran.

Jurnalis Irlandia, Dylan Evans, menyatakan bahwa IAEA tidak bisa lagi dianggap sebagai lembaga netral. Ia menyebut badan tersebut beroperasi dengan bias terang-terangan di bawah pengaruh negara-negara Barat, terutama Amerika Serikat, yang menekan keputusan IAEA secara diplomatik. IAEA dinilai sangat memusuhi Iran dan secara rutin menggemakan narasi keamanan Barat, Israel, dan Amerika mengenai program nuklir Iran. Ini merupakan resolusi kelima IAEA terhadap Iran dalam lima tahun terakhir.

Evans membandingkan perlakuan IAEA terhadap Iran dan Israel, dengan menyebut bahwa selama dua dekade terakhir, badan tersebut tidak pernah mengeluarkan satu pun resolusi terhadap program nuklir Israel—padahal rezim Zionis menolak menandatangani NPT dan mengecualikan fasilitas seperti Dimona dari pengawasan IAEA. Aktivitas nuklir Israel hingga kini tetap berada di luar kerangka pengawasan dan perlindungan badan tersebut.

Pada tahun 2018, rezim Zionis mengklaim telah menyerahkan sejumlah besar dokumen intelijen terkait arsip nuklir Iran kepada IAEA, yang kemudian digunakan untuk memperluas inspeksi serta menimbulkan kembali keraguan atas sifat damai program nuklir Iran. IAEA menerima informasi tersebut dari entitas non-anggota NPT yang justru memiliki senjata nuklir, yang secara terang-terangan bertentangan dengan prinsip netralitas yang diklaimnya sendiri.

Baca juga: Hamas Nyatakan Menanggapi Proposal Gencatan Senjata Gaza dengan “Semangat Positif”

Dokumen WikiLeaks tahun 2010 mengungkap bahwa Yukiya Amano, mantan Direktur Jenderal IAEA (2009–2019), memiliki hubungan erat dengan pemerintah Amerika Serikat dan menentang program nuklir Iran. Ia dilaporkan telah membocorkan informasi sensitif mengenai fasilitas-fasilitas penting Iran kepada badan intelijen Amerika dan Israel melalui perantara intelijen Barat.

Laporan ini menyimpulkan bahwa Iran terus menghadapi sanksi internasional dan tuntutan keras tanpa bukti nyata atas aktivitas nuklir yang membahayakan. Sementara itu, tidak ada tekanan internasional atau resolusi yang ditujukan kepada rezim Zionis untuk memaksanya menandatangani NPT atau membuka fasilitas nuklirnya terhadap inspeksi internasional.

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *