Paris, Purna Warta – France 24 melaporkan bahwa produsen semen Prancis, Lafarge, diadili di Paris atas tuduhan diam-diam mendanai Daesh (ISIS atau ISIL) dan kelompok-kelompok yang terkait dengan Al-Qaeda untuk mempertahankan bisnisnya di Suriah yang dilanda perang.
Perusahaan Prancis tersebut, yang kini menjadi bagian dari konglomerat Swiss, Holcim, diduga mentransfer jutaan dolar antara tahun 2013 dan 2014 melalui anak perusahaannya di Suriah kepada faksi-faksi bersenjata termasuk Daesh dan Jabhat al-Nusra.
Pembayaran tersebut dilaporkan dilakukan untuk menjaga pabrik Lafarge di Suriah utara tetap beroperasi meskipun perang masih berlangsung.
Jabhat al-Nusra pernah dipimpin oleh Ahmad al-Sharaa, yang kini mengklaim gelar presiden Suriah.
Lafarge dan beberapa mantan eksekutifnya menghadapi tuduhan “mendanai terorisme” dan melanggar sanksi internasional.
Jika terbukti bersalah, perusahaan tersebut dapat menghadapi denda hingga $1,2 juta.
Pada tahun 2022, Lafarge mengakui di pengadilan AS bahwa ia berkonspirasi untuk memberikan dukungan material kepada kelompok teroris dan setuju untuk membayar denda sebesar $778 juta.
Kasus tersebut menandai pertama kalinya sebuah perusahaan multinasional dituntut karena membantu organisasi teroris yang ditunjuk.
Jaksa AS mengatakan Lafarge membuat “perjanjian pembagian hasil” dengan Daesh untuk menekan persaingan dan mempertahankan operasi di wilayah konflik.
Prancis membuka penyelidikannya sendiri pada tahun 2017 menyusul laporan dari jurnalis dan pengaduan dari kelompok hak asasi manusia dan mantan karyawan.
Sidang di Prancis diperkirakan akan berlanjut hingga pertengahan Desember, sementara penyelidikan lain terkait kemungkinan keterlibatan Lafarge dalam kejahatan terhadap kemanusiaan masih berlangsung.
Lebih dari 400 korban Yazidi, termasuk peraih Nobel Nadia Murad, juga telah mengajukan gugatan perdata di Amerika Serikat dengan tuduhan Lafarge memfasilitasi kekejaman Daesh.
Para kritikus mengatakan kasus ini menggarisbawahi rekam jejak panjang Prancis dalam melindungi perusahaan-perusahaan besar, bahkan ketika mereka mendapatkan keuntungan dari kekerasan ekstremis di luar negeri.


