Purna Warta – Menurut laporan Fars News Agency, Departemen Keuangan AS menuduh Polisi Keamanan Moral Iran melakukan “kekerasan” yang berujung pada kematian Mahsa Amini dan memasukkannya ke dalam daftar lembaga yang mendapat sanksi.
Dalam pernyataan tersebut, Amerika Serikat telah meminta pertanggungjawaban Polisi Keamanan Moral Iran atas kematian Mahsa Amini tanpa mengacu pada dokumentasi apa pun.
Baca Juga : Avontur Kaukasus di Balik Perang Azerbaijan Vs Armenia
Disebutkan Kementerian Keuangan AS sebelumnya telah menjatuhkan sanksi kepada tujuh pejabat senior organisasi keamanan Iran dari Kementerian Informasi dan Inteligen, Angkatan Darat, Pasukan Perlawanan Basij, Kepolisian Iran ditambah Polisi Keamanan Moral masuk daftar hitam oleh Kantor Kontrol Aset Asing kementerian ini.
AS mengklaim Kantrol Kontrol Aset Asing dari Kementerian Keuangan AS bertanggung jawab untuk memantau organisasi yang secara teratur menggunakan kekerasan untuk menekan protes damai dan anggota masyarakat sipil, lawan politik, aktivis hak-hak perempuan, dan kelompok minoritas.
Menteri Keuangan AS Janet Yellen mengatakan, ”Mahsa Amini adalah seorang wanita pemberani yang kematiannya dalam tahanan Polisi Keamanan Moral adalah contoh lain dari perilaku brutal pasukan keamanan rezim Iran terhadap rakyatnya sendiri.”
“Kami mengutuk tindakan melawan hati nurani ini dengan nada yang paling keras dan meminta pemerintah Iran untuk mengakhiri kekerasan terhadap perempuan dan penindasan kekerasan terhadap kebebasan berekspresi dan kebebasan berkumpul.” Tambahnya.
Baca Juga : Mahsa Amini dan Zainab Essam; Dua Kematian dalam Satu Permainan Politik Media Barat
Para ahli mengatakan bahwa Amerika Serikat dan negara-negara Eropa, dalam situasi di mana mereka tidak punya pilihan melawan diplomasi superior Iran dalam negosiasi untuk mencabut sanksi di Wina, berniat menggunakan isu internal Iran sendiri dengan menghasut opini publik dan memancing kekacauan di Iran. Sementara AS sendiri tidak bersih dari pelanggaran HAM yang dilakukan aparat kepolisiannya, terutama insiden tewasnya George Floyd setelah lehernya diinjak oleh polisi AS yang memicu demonstrasi luas di AS.
Republik Islam Iran berada di atas angin dalam negosiasi Wina, terutama karena sanksi telah gagal dalam tujuan yang jelas dari negara-negara Barat untuk menciptakan kesenjangan besar antara bangsa dan pemerintah dan menciptakan arus subversif yang kuat.
Menurut pengakuan orang-orang seperti Richard Nephew, yang dianggap sebagai arsitek kebijakan sanksi, agar dapat digunakan sebagai alat tawar-menawar dalam negosiasi oleh pihak Barat, mereka harus mengubah perhitungan pejabat pemerintah dengan menciptakan ketidakpuasan publik dan mengancam untuk menggulingkan, dan menekan mereka untuk memberikan poin.
Tetapi ini adalah peristiwa yang tidak terjadi meskipun penerapan kebijakan tekanan maksimum, dan berkat perlawanan rakyat, Iran telah mengalami efek paling parah dari perang ekonomi skala penuh, dan sekarang para pembuat keputusan Iran mencari untuk menggunakan masalah ini sebagai pengungkit untuk meyakinkan Barat harus berhenti menggunakan kebijakan koersif dan mengakhiri perang ekonomi melawan rakyat Iran.
Baca Juga : Kenapa Turki Berpaling ke Suriah?
Jelas, dalam situasi seperti itu, negara-negara Barat dan kerajaan media mereka membutuhkan kekacauan di dalam negeri agar mereka dapat memanfaatkannya dalam negosiasi sebagai indikator efektivitas sanksi dan kemudian menggunakannya sebagai tawar-menawar untuk bisa mendikte Iran. Kekacauan sebenarnya adalah alat yang digunakan oleh arus anti-revolusioner untuk memperkeruh jalannya negosiasi dan mencari sanksi darinya.
Penting untuk memperhatikan poin ini bersama dengan bukti lain yang menunjukkan bahwa pemerintahan Joe Biden, presiden AS saat ini, berencana untuk mengadopsi strategi agitasi Donald Trump untuk memajukan rencananya terhadap Iran karena kebijakan sanksi atas Iran tidak memberi dampak parah bagi Iran.