Merenungi Gaza di Masa Tenang Pemilu Indonesia

Merenungi Gaza di Masa Tenang Pemilu Indonesia

oleh: Dina Yulianti*

Purna Warta Masa kampanye pemilih presiden (pilpres) Indonesia 2024 sudah usai. Kini, kita menjalani masa tenang untuk kemudian di tanggal 14 Februari menetapkan pilihan, kepada siapa mandat kepemimpinan negeri ini kita serahkan.

Baca Juga : Serangan terhadap Sebuah Kapal di Pantai Yaman

Di saat yang sama, nun jauh di sana, di Gaza, rakyat Palestina masih terus menjalani hari-hari penuh penderitaan akibat gempuran Israel. Sebagaimana diberitakan berbagai media, Juru Bicara PBB Stephane Dujarric, baru-baru ini menyampaikan kekhawatirannya atas nasib warga sipil di kota Rafah yang sedang terancam akan kembali diserang dan dievakuasi paksa oleh Israel.

Rafah adalah sebuah kota di selatan Gaza, berbatasan dengan Mesir. Seharusnya, Rafah menjadi tempat yang aman, Israel sendiri yang menyuruh warga Gaza segera mengungsi ke sana. Namun, setelah hampir semua warga berkumpul di Rafah dan bagian selatan Gaza lainnya, Israel justru menyerang wilayah itu.

Bantuan kemanusiaan yang masuk dari Mesir ke Gaza lewat pintu Rafah juga sangat dibatasi oleh Israel. Akibatnya, seperti disampaikan oleh Juru Bicara PBB, terjadi krisis makanan, air bersih, layanan kesehatan dan fasilitas sanitasi di Rafah yang mengakibatkan penyakit dan kematian.

Bagi sebagian besar rakyat Indonesia, Palestina adalah sebuah keprihatinan panjang yang tak pernah usai. Solidaritas bangsa Indonesia pada perjuangan Palestina sudah dimulai sejak era pra-kemerdekaan. Dulu, di tahun 1938, dalam Muktamar NU ke-13 (12-15 Juli) di Menes, Pandeglang, Banten, KH Abdul Wahab Chasbullah menyerukan agar NU dijadikan “Badan Perantara dan Penolong Kesengsaraan umat Islam di Palestina” demi membantu “nasib malang yang diderita oleh umat Islam di Palestina.” Beliau juga menyerukan agar pengurus dan anggota NU mengusahakan pengumpulan dana untuk membantu bangsa Palestina. [1]

Kita tahu, pada tahun 1938, sama sekali tidak ada internet sehingga sampainya informasi tidak secepat hari ini. Saat itu, bangsa Indonesia juga masih dalam kondisi dijajah Belanda. Namun, kondisi itu tidak menghalangi munculnya solidaritas global yang melampaui daratan dan lautan dengan jarak ribuan kilometer. Pada tahun 1938, Israel bahkan belum resmi berdiri. Israel berdiri tahun 1948, setelah Dewan Keamanan PBB merilis resolusi No.181/1947 yang membagi dua wilayah Palestina, sebagian dijadikan negara khusus Yahudi, dan sebagian diberikan kepada bangsa Arab-Palestina.

Tapi, tahun 1938, Palestina berada di bawah kekuasaan mandat Inggris yang memfasilitasi proses pembentukan negara Israel, sesuai janji Menlu Inggris, Balfour, kepada tokoh Yahudi Inggris, Rothschild, pada tahun 1917. Ketika bangsa Palestina menyadari konspirasi ini, mereka pun berjuang, baik dengan politik maupun senjata. Bangsa Indonesia, sebagai sesama bangsa terjajah, saat itu telah menunjukkan solidaritasnya.

Baca Juga : Pertemuan Menlu Iran dengan Bashar Al-Assad

Semangat solidaritas yang berumur amat panjang ini, telah menjadi salah satu aspek penting dalam penetapan kebijakan luar negeri Indonesia. Sejak era Presiden Sukarno, hingga kini era Presiden Joko Widodo, Palestina selalu menjadi isu sentral diplomasi Indonesia.

Bagaimana dengan visi-misi para capres terkait Palestina?

Berikut ini saya copy dari dokumen PDF visi-misi mereka. Capres 01 (Anies-Muhaimin): Menjadi aktor penting dalam kampanye perdamaian dunia dengan berperan dalam Pasukan Perdamaian PBB, ekspansi peran mediator perdamaian konflik global, penegasan kepemimpinan Indonesia dalam perumusan agenda perdamaian dunia, dan terlibat aktif dalam penyelesaian masalah kemanusiaan dunia, termasuk Palestina.

Capres 02 (Prabowo-Gibran): Memperkuat dukungan diplomasi terhadap upaya kemerdekaan dan kedaulatan Palestina antara lain dengan memperjuangkan pembukaan KBRI di Palestina dan mengangkat utusan khusus untuk mendorong proses kemerdekaan Palestina.

Capres 03 (Ganjar-Mahfud): Menjalankan politik bebas aktif dengan prinsip Dasasila Bandung untuk memperjuangkan kepentingan Indonesia sebagai poros maritim dunia. Memperkuat pelibatan global Indonesia yang otonom dalam forum bilateral dan multilateral dalam memperjuangkan perdamaian dunia.

Memperkuat komitmen untuk mendukung perjuangan pergerakan rakyat Palestina. Tentu kita perlu mengapresiasi bahwa ketiga capres memiliki komitmen untuk melanjutkan kebijakan luar negeri Indonesia yang selalu konsisten membela Palestina. Memang, tidak dipungkiri, selama ini ada hal-hal yang diam-diam dilakukan oknum, misalnya diam-diam beli senjata, diam-diam berkunjung ke Israel, diam-diam menjalin kerja sama ini-itu dengan Israel. Tetapi, secara resmi pemerintah Indonesia tetap konsisten menolak mengakui Israel dan menolak membuka hubungan diplomatik dengan Israel.

Baca Juga : Serangan Tentara Zionis Tewaskan 2 Tawanan Israel lagi

Siapapun yang terpilih sebagai presiden Indonesia dalam pilpres 2024 ini, hendaknya menjaga komitmen ini. Poin terpenting adalah Indonesia harus terus menolak untuk membuka hubungan diplomatik dengan Israel. Hubungan diplomatik adalah “kartu truf” yang kita punya untuk menekan Israel. Sebaliknya, Israel pun tahu, jika Indonesia bersedia membuka hubungan diplomatik dengan Israel, Israel akan meraih kemenangan besar secara politik dan diplomasi. Israel akan mengatakan pada dunia, “Indonesia negara Muslim terbesar di dunia saja sudah berpihak pada kami!” Itulah sebabnya Israel dengan berbagai cara berusaha mendekati pemimpin Indonesia. Oleh karena itu, siapapun yang terpilih sebagai presiden, hendaknya mengingat pesan Bung Karno: Selama kemerdekaan Bangsa Palestina belum diserahkan kepada orang-orang Palestina, maka selama itulah bangsa Indonesia berdiri menantang penjajahan Israel.”

[1] https://www.nu.or.id/taushiyah/kronik-kronologis-dokumen-komitmen-pbnu-atas-kemerdekaan-palestina-9Kzmm

*Dosen Hubungan Internasional Universitas Padjadjaran

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *