Oleh: Ivan Kesic
Pada tanggal 13 Aban, yang bertepatan dengan 4 November — tanggal yang terukir dalam ingatan kolektif bangsa Iran — semangat perlawanan yang tak tergoyahkan terhadap penindasan dan dominasi asing menemukan ekspresinya yang paling kuat, menandai momen penting dalam sejarah yang turut membentuk takdir Republik Islam.
Hari ini lebih dari sekadar tanggal dalam kalender Iran. Hari ini merupakan bukti nyata perjalanan penuh gejolak bangsa ini menuju kedaulatan dan perlawanannya yang gigih terhadap kekuatan-kekuatan hegemonik.
Hari ini sekaligus memperingati tiga peristiwa penting: pengasingan pendiri Revolusi Islam, Imam Khomeini; pembantaian brutal mahasiswa tak berdosa oleh rezim Pahlavi pada tahun 1978; dan pengambilalihan kedutaan besar AS di Teheran pada tahun 1979, yang juga dikenal sebagai “Sarang Spionase”.
Bersama-sama, peristiwa-peristiwa ini membentuk narasi yang koheren tentang perjuangan, pengorbanan, dan emansipasi akhir dari kediktatoran yang didukung AS dan rencana-rencana selanjutnya untuk melemahkan revolusi rakyat.
Benang merah yang menghubungkan tonggak-tonggak sejarah ini adalah pengaruh jahat kebijakan luar negeri Amerika, yang pertama-tama menopang rezim Pahlavi yang represif dan kemudian, setelah kejatuhannya, berkonspirasi untuk mencekik Republik Islam yang baru lahir di tempat lahirnya.
Ini tentang memahami perjuangan yang berkelanjutan, sebuah “jihad dasar melawan arogansi,” sebagaimana diartikulasikan oleh Pemimpin Revolusi Islam, Ayatollah Sayyid Ali Khamenei, yang menekankan bahwa “bagi bangsa Iran, yang terinspirasi oleh ajaran Islam, melawan penindasan adalah sebuah kewajiban.”
Pengasingan Sang Pemimpin: Menempa Revolusi Tanpa Kehadiran
Babak pertama dari hari bersejarah ini dimulai pada tahun 1963, periode ketika rezim Shah, yang ingin menampilkan fasad liberal, memperkenalkan apa yang disebut “Revolusi Putih” — sebuah paket tindakan yang secara luas diakui terinspirasi dan didikte oleh para penasihat Amerikanya.
Imam Khomeini, dengan wawasan agama dan politiknya yang mendalam, segera menyadari hal ini sebagai taktik untuk memperdalam ketergantungan Iran pada Barat dan memperkuat kediktatoran.
Ia mengeluarkan manifesto yang kuat yang mengutuk ketundukan Shah kepada AS dan Israel, dan pelanggarannya terhadap konstitusi negara. Pidato-pidatonya yang berani memicu protes massa Khordad 15, yang ditumpas secara brutal dengan gugurnya ratusan.
Namun, momen penting yang menyebabkan pengasingannya terjadi pada November 1964. Sebagai bentuk penghormatan atas status subordinasinya, rezim Shah memberikan kekebalan diplomatik kepada personel militer Amerika dan keluarga mereka, yang secara efektif menempatkan mereka di atas hukum Iran.
Imam Khomeini dengan keras menentang “kapitulasi” ini, dengan bertanya secara retoris apakah rakyat Iran lebih rendah daripada rakyat Amerika. Atas tindakan pembangkangan ini, beliau ditangkap pada 4 November 1964, dan diasingkan, pertama ke Turki, kemudian ke Najaf di Irak, dan akhirnya ke Neauphle-le-Château di Prancis.
Masa pengasingan selama 14 tahun ini merupakan masa yang sulit. Selama masa inilah Imam Khomeini dengan cermat mengembangkan doktrin politik Velayat-e Faqih (Perwalian Ahli Hukum Islam), yang kelak menjadi landasan Republik Islam.
Dari kejauhan, beliau dengan piawai membimbing gerakan revolusioner, suaranya diperkuat oleh kaset dan pamflet, membuktikan bahwa jarak fisik tidak dapat memadamkan revolusi yang dipicu oleh keyakinan dan hasrat teguh untuk menentukan nasib sendiri.
Seperti yang kemudian direnungkan oleh Ayatollah Khamenei, “Imam diculik dari rumahnya dan diasingkan dari Iran… Lima belas tahun kemudian… anak-anak Imam, para pemuda mahasiswa revolusioner, pergi pada tanggal 13 Aban dan menduduki sarang mata-mata Amerika di Teheran; Mereka mengasingkan Amerika dari Iran.”
Keadilan puitis ini menggarisbawahi bahwa perjuangan tersebut tidak pernah bersifat pribadi, melainkan konflik fundamental antara kedaulatan nasional dan dominasi asing.
Protes mahasiswa 1978: Benih yang ditabur dalam darah
Hanya beberapa jam sebelum revolusi membuahkan hasil, rezim Pahlavi menyampaikan pengingat brutal tentang sifatnya. Pada 4 November 1978, ribuan mahasiswa berkumpul di Universitas Teheran untuk melakukan protes damai menentang kediktatoran yang didukung AS.
Dalam tanggapan yang brutal, pasukan rezim Pahlavi menyerbu kampus, melepaskan gas air mata, pentungan, dan hujan peluru peluru mengenai pemuda tak bersenjata.
Hasilnya adalah tragedi nasional: 56 mahasiswa gugur dan ratusan lainnya terluka. Pembantaian ini, yang terjadi pada tanggal yang sama dengan pengasingan Imam Khomeini, semakin memperdalam kebencian rakyat terhadap monarki dan tekad untuk membebaskan bangsa mereka dari dominasi Barat.
Peristiwa ini bukanlah insiden yang terisolasi, melainkan bagian dari pola kekerasan yang dirancang untuk mengintimidasi penduduk. Sebaliknya, peristiwa ini justru mengobarkan api revolusi, membuktikan bahwa klaim modernitas dan kemajuan Shah hanyalah kedok kosong untuk kebrutalan yang nyata.
Darah para mahasiswa ini, seperti darah para pengunjuk rasa pada tahun 1963, menyuburkan pohon revolusi, yang akan berbuah hanya beberapa bulan kemudian.
Sarang Spionase: Revolusi Kedua Iran
Peristiwa Aban 13 yang paling berpengaruh secara global adalah pengambilalihan kedutaan AS pada tahun 1979 oleh Mahasiswa Muslim Pengikut Garis Imam. Ini bukanlah tindakan kemarahan yang spontan, melainkan respons yang terencana dan diperlukan terhadap bahaya yang nyata dan nyata bagi Revolusi Islam.
Meskipun Revolusi telah menang pada Februari 1979, pemerintah AS tidak menunjukkan niat untuk menghormati kemerdekaan Iran yang baru diraih.
Kedutaan Besar AS di Teheran, jauh dari misi diplomatik, telah berubah menjadi apa yang digambarkan Ayatollah Khamenei sebagai “markas besar untuk menyusun rencana-rencana untuk melemahkan Revolusi Islam.”
Kedutaan Besar AS di Teheran menjadi “sarang mata-mata”, pusat koordinasi dengan sisa-sisa rezim Pahlavi, memicu perselisihan etnis, dan merencanakan kudeta kontra-revolusioner.
Provokasi terakhir terjadi ketika Amerika Serikat mengizinkan Shah yang digulingkan masuk, seorang buronan yang menjarah kekayaan negara dan memimpin pemerintahan teror.
Tindakan ini secara luas dianggap sebagai tindakan Washington yang bersiap untuk mengembalikan bonekanya. Jalan-jalan di Teheran meletus dalam protes besar-besaran, dan para mahasiswa, yang menyadari ancaman yang akan datang, bertindak tegas.
Pada 4 November 1979, sekitar 400 mahasiswa memanjat tembok kedutaan dan merebut kompleks tersebut, menangkap staf diplomatik dan, yang terpenting, harta karun berupa dokumen intelijen sensitif yang merinci kegiatan spionase dan subversi ekstensif yang diatur dari dalam.
Pengambilalihan awal direncanakan sebagai aksi duduk simbolis, tetapi dengan cepat berkembang menjadi operasi yang berkepanjangan dengan dukungan tegas dan penuh tekad dari Imam Khomeini. Beliau secara terkenal memuji langkah tersebut sebagai “Revolusi Kedua”, sebuah sebutan yang menggarisbawahi pentingnya strategis yang mendalam.
Sebagaimana dijelaskan Ayatollah Khamenei, “Imam bukanlah seorang pemuda yang akan Anda katakan, ‘Ia menjadi emosional dan mengatakan sesuatu.’ Imam, orang tua yang bijaksana itu… telah menyadari sebuah kebenaran.”
Kebenaran itu ada tiga. Pertama, pendudukan tersebut merupakan puncak logis dari perjuangan anti-arogansi yang telah mendefinisikan gerakannya sejak awal.
Kedua, pendudukan tersebut mengungkap dan menetralisir simpul utama konspirasi Amerika terhadap republik yang masih muda tersebut. Ketiga, dan mungkin yang paling penting, pendudukan tersebut memutus jalinan terakhir potensi ketergantungan.
“Isu sarang mata-mata memutus jalinan komunikasi terakhir antara revolusi dan Amerika,” catat Ayatollah Khamenei. “Ini memberikan kontribusi yang besar dan berharga bagi revolusi kita.”
Akibatnya: Mengalahkan arogansi dan memperkuat kemerdekaan
Tanggapan Amerika merupakan respons arogansi dan salah perhitungan belaka. Alih-alih menanggapi keluhan Iran yang sah, Presiden Jimmy Carter justru memilih ancaman ekonomi dan upaya penyelamatan militer yang gagal, Operasi Eagle Claw, yang berakhir dengan kegagalan yang memalukan di gurun Iran.
Lebih lanjut, AS menyetujui dan mendukung invasi brutal Saddam Hussein ke Iran pada September 1980, dengan harapan dapat menghancurkan Revolusi Islam melalui perang proksi.
Krisis kedutaan akhirnya diselesaikan melalui Perjanjian Aljazair pada Januari 1981, yang menjamin pembebasan staf kedutaan dan, yang terpenting, memaksa AS untuk berjanji tidak mencampuri urusan dalam negeri Iran dan mencairkan aset-aset Iran.
Pembebasan tersebut bertepatan dengan pelantikan Presiden Ronald Reagan, sebuah langkah yang secara simbolis menyoroti dampak politik domestik bagi AS.
Tindakan berani para mahasiswa, yang didukung oleh bangsa, tidak hanya mengungkap kemunafikan dan kerentanan Amerika, tetapi juga memperkuat jalur revolusioner, mengglobalkan perjuangan melawan apa yang disebut Ayatollah Khamenei sebagai “Firaunisme Amerika.”
Warisan Perlawanan yang Abadi
Tanggal 13 Aban, yang diperingati setiap tahun dengan demonstrasi besar-besaran, tetap menjadi simbol kuat komitmen abadi Iran terhadap prinsip-prinsip kemerdekaan, kebebasan, dan pemerintahan Islam.
Hari ini merangkum perjalanan bangsa Iran dari penindasan diktator yang didukung AS hingga sikap perlawanannya yang ekstrem terhadap “kesombongan global”.
Dokumen-dokumen yang direkonstruksi dengan cermat dari kertas-kertas robek di Sarang Spionase, yang memenuhi lebih dari tujuh puluh volume, berdiri sebagai dakwaan abadi atas campur tangan asing.
Seiring rakyat Iran memperingati hari ini setiap tahun dengan demonstrasi di seluruh negeri, mereka meneguhkan kembali janji yang dibuat oleh para leluhur mereka: bahwa mereka tidak akan pernah lagi membiarkan bangsa mereka menjadi arena bermain bagi kekuatan asing.
Semangat Aban 13—semangat Imam Khomeini, para santri yang gugur, dan para pemuda pemberani—terus membimbing Republik Islam Iran di jalannya, membuktikan bahwa bangsa yang bersatu dalam iman dan tujuan sungguh mampu menghadapi kekuatan global yang paling tangguh dan menentukan nasibnya sendiri.


