Tel Aviv, Purnawarta – Perdana Menteri Israel Benjamin Netanyahu menunda pengajuan RUU Haredi yang dinilai kontroversial oleh jajaran petinggi Tel Aviv. RUU tersebut mulanya dijadwalkan akan dibahas di parlemen pada Selasa (26/3) kemarin. Netanyahu mengatakan akan merevisi RUU tersebut bersama faksi serta anggota kabinetnya.
RUU Haredi mendapatkan respon yang negatif dari figur-figur politisi berpengaruh di Israel. Hal ini dikarenakan RUU tersebut akan menggugurkan wajib militer untuk warga Yahudi Haredi yang merupakan komunitas ultra-ortodoks Judaisme. Kebijakan tersebut diyakini merupakan bagian dari ‘harga’ yang harus dibayar Netanyahu untuk koalisinya yang berasal dari komunitas ultra-ortodoks dalam memenangkan dirinya pada pemilu 2022.
Menteri Perang Israel, Benny Gantz menekankan kembali ancamannya yang mengatakan dirinya akan keluar dari kabinet apabila RUU ini disahkan. Ia mengatakan Israel tidak memiliki cukup tentara dan RUU ini akan memperkecil cakupan perekrutan tentara baru.
Militer Israel mengatakan bahwa sampai saat ini sudah ada sekitar 66.000 pemuda dari komunitas Haredi yang mendapatkan keringanan dari wajib militer dalam satu tahun terakhir. Undang-undang yang mengatur pengguguran wajib militer ini tidak lagi berlaku per bulan Juni 2023.
Selain para politisi, isu pengecualian komunitas Haredi dari wajib militer ini menyebabkan kecemburuan sosial di tengah masyarakat. Hal ini ditunjukkan dalam demonstrasi pekan lalu di Yerusalem dimana para massa pengunjuk rasa yang juga dihadiri oleh para veteran, meneriaki kediaman Netanyahu dengan slogan “Keadilan untuk semua”.