Tel Aviv, Purnawarta – Saluran tv Israel Channel 13 merilis sebuah survei yang menunjukkan bahwa 76 persen warga Israel menuntut Perdana Menteri Benjamin Netanyahu untuk mengundurkan diri dari jabatannya. Survei tersebut juga menunjukkan bahwa 44 persen warga Israel menganggap Netanyahu bertanggung jawab atas kegagalan membendung operasi badai Al-Aqsa yang dilancarkan pada 7 Oktober lalu.
Baca Juga : Iran Pinta Tanggapan IAEA dan PBB Tentang Ancaman Bom Nuklir Israel Terhadap Gaza
Survei ini digarap oleh Profesor Camille Fuchs dari departemen statistik Universitas Tel Aviv, melibatkan 691 responden dimana 591 di antaranya merupakan orang Yahudi dan 100 lainnya dari komunitas non-Yahudi. Selain soal ‘kegagalan keamanan salah siapa’, survei ini juga menunjukkan data-data lain di bidang ekonomi dan politik internal. ,
Meski telah menguasai rezim Zionis selama lebih dari 16 tahun, kepercayaan warga Israel terhadap Netanyahu terus menipis dari tahun ke tahun. Hal ini dikarenakan ia terjerat sejumlah kasus korupsi dan gratifikasi yang melibatkan istrinya serta upaya pengelakan hukum berkali-kali. Pada pemerintahannya saat ini, Netanyahu berkoalisi dengan partai-partai beraliran relijius kanan.
Koalisi tersebut sejauh ini telah mengekspansi pembangunan pemukiman Yahudi di Tepi Barat, memprovokasi wilayah Al-Quds dan menerapkan aturan garis keras di Jalur Gaza. Tindakan tersebut dinilai sangat beresiko untuk memprovokasi ketegangan sejak awal mereka memerintah hingga meletusnya operasi badai Al-Aqsa pada 7 Oktober.
Baca Juga : Iran: Perluasan Cakupan Perang Gaza Tidak Bisa Dihindari Karena Agresi Israel Meningkat
Selain upaya perombakan yudisial yang dinilai mengancam demokrasi Israel, sentimen anti-Netanyahu diperparah dengan keengganan kabinet perangnya untuk memprioritaskan pemulangan tawanan. Massa berdemonstrasi di sejumlah kota seperti Tel Aviv dan juga di depan kediaman Netanyahu di Yerusalem menuntut pemulangan para tawanan sesegera mungkin dan menghentikan serangan udara membabi buta karena bisa jadi mereka serangan tersebut membahayakan jiwa para tawanan Israel sendiri. Keluarga tawanan menegaskan takkan berhenti beraksi sampai para tawanan berhasil dipulangkan.