Washington, Purna Warta – Mengulangi kesiapan pemerintahan Joe Biden untuk kembali pada perjanjian JCPOA, perwakilan khusus AS dalam permasalahan Iran Robert Malley mengatakan bahwa kampanye tekanan maksimum Washington terhadap Tehran telah gagal total.
Mehdi Hasan Show, seorang jurnalis senior Inggris yang berbasis di Washington, mewawancarai Robert Malley, utusan AS untuk Iran, dan bertanya kepadanya tentang status pembicaraan Wina untuk menghidupkan kembali perjanjian JCPOA.
Mehdi Hasan, yang menjadi pembawa acara bertanya kepada Robert Malley “Saya ingin memulai pertanyaan saya tentang pembicaraan Wina, Iran telah menolak proposal terbaru, dan beberapa orang mungkin mengatakan bahwa langkah Iran dapat dimengerti. Saya berbicara dengan Senator Demokrat Chris Murphy, anggota Komite Hubungan Luar Negeri Senat, pada program yang sama ini. Dia berkata: kita (Amerika Serikat) keluar dari JCPOA, jadi kita harus kembali ke (kesepakatan) dulu.”
Mehdi Hasan melanjutkan: “Dia (Chris Murphy) benar, bukan? Adalah tanggung jawab kita untuk kembali ke perjanjian dulu, karena Amerika Serikat yang menarik diri dari perjanjian itu?”
Menanggapi pertanyaan ini, Menteri Luar Negeri AS untuk Urusan Eropa dan Eurasia Robert Malley mengakui kegagalan sanksi AS dan tekanan maksimum yang tidak manusiawi terhadap Iran, dan mengulangi klaim berulang pemerintahan Biden bahwa Washington siap untuk kembali ke JCPOA jika Iran memenuhi kewajiban.”
Malley mengatakan “Dengar, kita mewarisi keputusan presiden sebelumnya dan Presiden Biden memutuskan bahwa hal itu harus diakhiri, situasi di mana kampanye tekanan maksimum pemerintahan Trump terhadap Iran gagal total, dan ini telah merusak citra dan kepentingan AS.”
“Kami melihat bahwa Iran telah mempercepat program nuklirnya, mengintensifkan upaya destabilisasi regional, dan semua ini terjadi setelah dimulainya kampanye tekanan maksimum yang mana sebenarnya kampanye ini dimaksudkan untuk mengatasi masalah Iran ini,” kata Robert Mali.
“Presiden Biden menginstruksikan supaya kami dapat bertemu dengan Iran secara langsung ataupun secara tidak langsung seperti yang mereka inginkan, dan kami telah memperjelas bahwa kami siap untuk kembali ke perjanjian tersebut, Jika Iran siap untuk kembali juga . Dengan kata lain, kami akan siap untuk mencabut sanksi jika mereka siap untuk kembali ke perjanjian dan memenuhi komitmen inti mereka dan memenuhi pembatasan pengayaan nuklir yang mereka janjikan dalam perjanjian tahun 2016,” tegasnya.
Perwakilan Biden untuk masalah Iran menambahkan: “Masalah ini kurang lebih sudah di atas meja yakni dalam pembicaraan Wina. Tentu saja, tidak pernah ada kesepakatan tentang ini dalam pembicaraan tersebut, tetapi ada serangkaian pendapat dan ide yang kami bahas, dan saya sendiri telah mengangkat tema tersebut. Tema ini bukan pula hanya pada pihak kami, Anda bisa bertanya kepada Presiden Iran dan Menteri Luar Negeri Iran. Keduanya telah beberapa kali mengatakan hal yang sama, bahkan minggu lalu, bahwa Iran ingin sanksi dicabut, dan sebenarnya hal itu bisa dilakukan pada Maret, April, Mei, Juni dan Juli, karena dalam semua periode ini (enam putaran pembicaraan di Wina) ada ide bahwa Amerika Serikat telah menawarkan untuk mencabut semua sanksi yang dijatuhkan oleh Presiden Trump dengan imbalan Iran kembali pada komitmennya.”
Ketika ditanya Mehdi, apa yang diinginkan Iran dalam konteks pembicaraan Wina, yang sulit dilakukan AS, Malley berkata: “Apa yang mereka inginkan adalah pencabutan semua sanksi yang dijatuhkan oleh pemerintahan Trump setelah 2018. diterapkan. Ini adalah permintaan yang besar.”
“Kami telah mengatakan kami siap untuk mencabut sanksi yang diperlukan untuk kembalinya kami pada kesepakatan JCPOA, tetapi kami tidak akan mencabut semua sanksi yang dijatuhkan oleh pemerintahan Trump,” kata Robert Malley, utusan AS untuk Iran dalam sebuah wawancaranya.
Dalam sebuah wawancara dengan Robert Mali, Mehdi Hasan bertanya tentang pembunuhan pemerintahan Trump terhadap Jenderal Qassem Soleimani, komandan Pasukan Quds dari Korps Pengawal Revolusi Islam.
“Saya tidak tahu persis apa yang terjadi dalam pemerintahan Trump tetapi saya pikir rakyat Amerika Serikat berhak marah karena kebijakan itu yang dia klaim ditujukan untuk menjaga keamanan rakyat Amerika Serikat yakni kebijakan yang dilakukan Trump melalui pembunuhan Qassem Soleimani dan penerapan kampanye tekanan maksimum. Tiga tahun telah berlalu sejak peristiwa tersebut, tetapi semuanya jelas. Amerika Serikat sekarang merasa kurang aman daripada sebelumnya karena Iran memiliki program nuklir yang lebih luas daripada sebelum kesepakatan JCPOA dan telah mengintensifkan kegiatan regionalnya.” kata utusan khusus AS untuk permasalahan Iran ini.
“Ini bukan masalah menilai pembunuhan Qassem Soleimani, dan saya pikir kita semua bisa sepakat tentang itu, tetapi pertanyaannya adalah apakah pembunuhannya membuat Amerika Serikat lebih aman atau tidak. Saya pikir masalahnya sangat jelas, karena hal itu justru menciptakan lebih banyak masalah dan tidak mengurangi ketegangan,” tambahnya.