Sana’a, Purna Warta – Dalam laporan perkembangan terakhir kondisi di Yaman, Reuters menuliskan bahwa koalisi yang dipimpin Saudi berusaha untuk mengakhiri perang yang mahal di Yaman dan juga menyatakan bahwa perjanjian damai dengan gerakan Ansarullah sudah dekat.
Seorang pejabat Ansarullah Yaman dan dua pejabat Yaman lainnya juga mengatakan bahwa kelompok-kelompok yang memusuhi Yaman sedang mengklarifikasi persyaratan kesepakatan damai yang akan membebaskan Arab Saudi dari perangnya yang mahal dan mengakhiri krisis kemanusiaan di Yaman.
Baca Juga : Reaksi UEA terhadap Serangan Pesawat Tak Berawak Yaman ke Arab Saudi
Menurut Reuters, sumber mengatakan bahwa pembicaraan antara koalisi pimpinan Saudi dan gerakan Ansarullah Yaman difokuskan pada langkah-langkah untuk mengangkat pengepungan pelabuhan Yaman dan Bandara Internasional Sana’a.
Menurut Reuters, Sayyid Abdul Malik al-Houthi, pemimpin gerakan Ansarullah Yaman, membuat pengumuman tersebut selama kunjungan utusan Oman ke Sanaa awal bulan ini.
Pembicaraan gencatan senjata akan dimulai segera setelah pengepungan dicabut sejalan dengan penawaran baru-baru ini oleh utusan PBB untuk Yaman Martin Griffiths.
Arab Saudi, yang memimpin koalisi Arab yang didukung AS, telah melancarkan agresi militer terhadap Yaman dan blokade darat, udara dan laut Yaman sejak maret 2015, mengklaim mencoba membawa kembali presiden Yaman yang terguling kepada kekuasaan sebelumnya.
Agresi militer ini belum mencapai satupun tujuan koalisi Saudi.
Agresi ini hanya menyebabkan terbunuhnya ribuan rakyat Yaman dan ribuan rakyat lainnya terluka, menjadikan jutaan orang kehilangan tempat tinggal, hancurnya berbagai infrastruktur negara, meluasnya paceklik, kelaparan, dan penyakit menular.
Baca Juga : Apa Politik Luar Negeri Presiden Baru Terpilih Iran, Ebrahim Raeisi?
Arab Saudi, sementara mengklaim setuju dengan pejabat internasional itu untuk membuat gencatan senjata di Yaman, terus menargetkan Yaman dengan serangan darat dan udara tanpa henti dan tidak mencabut pengepungan dari berbagai arah terhadap Yaman.
Daerah perbatasan Yaman juga menjadi sasaran serangan roket dan artileri oleh koalisi Saudi dan pasukan tentara bayaran Saudi selama enam tahun terakhir.
Gerakan Ansarullah Yaman juga menargetkan infrastruktur Saudi dengan rudal balistik dan pesawat tak berawak sebagai respon atas kejahatan Saudi yang menyerang warga sipil.
Satu sumber mengklaim bahwa Riyadh tidak menentang perjanjian tersebut tetapi membutuhkan lebih banyak jaminan dari Oman dan Iran, yang keduanya memiliki hubungan dekat dengan gerakan Ansarullah.
Jika kesepakatan ini tercapai, itu akan menjadi pencapaian pertama dari upaya yang dipimpin PBB untuk mengakhiri perang sejak penghentian pembicaraan damai di Swedia pada Desember 2018.
Reuters mengklaim bahwa kesepakatan itu adalah kemenangan kebijakan luar negeri bagi pemerintahan Biden dan akan mengurangi ketegangan antara Iran dan Arab Saudi.
Baca Juga : Kematian Mencurigakan Aktivis Berdarah Emirat di London
Utusan AS untuk Yaman, Tim Linderking, dan Martin Griffiths melakukan perjalanan ke Riyadh pekan lalu untuk bertemu dengan pejabat Saudi, Oman, dan beberapa pejabat di pemerintah Yaman yang terguling untuk memajukan perjanjian.
Dalam sebuah wawancara dengan Reuters, Mohammed Abdul Salam, kepala tim perunding gerakan Ansarullah Yaman, mengatakan bahwa harus dipastikan bahwa akses ke bandara Sana’a dan pelabuhan Hudaydah disediakan tanpa kondisi yang tidak mungkin atau tindakan lain yang akan membalikkan pengepungan.
Dia melanjutkan, “Setelah itu, kita akan berbicara tentang gencatan senjata yang komprehensif, yang harus mencakup penghentian nyata permusuhan dan bukan gencatan senjata yang rapuh, dan ini termasuk penarikan kekuatan asing dari Yaman untuk memudahkan negosiasi politik.”
Abdul Salam menambahkan bahwa waktu penarikan pasukan asing harus menjadi subyek negosiasi.
Reuters melaporkan bahwa koalisi dan pemerintah Saudi tidak menanggapi permintaan kantor berita tersebut untuk menanggapi pernyataan tersebut.
Arab Saudi, sementara itu, memulai pembicaraan langsung dengan Iran pada bulan April, mencari jaminan keamanan di sepanjang perbatasan dengan Yaman.
Baca Juga : Reaksi UEA terhadap Serangan Pesawat Tak Berawak Yaman ke Arab Saudi
Reuters menulis Bahwa Riyadh mungkin harus mempertahankan kehadiran militernya di Yaman, terutama di selatan, di mana pasukan yang didukung Saudi dan kelompok separatis yang tampaknya bersekutu, kerap mengalami bentrokan.
Sejak akhir Mei, delegasi dari pemerintah yang terguling dan Dewan Transisi Selatan telah berada di Riyadh, ibu kota Arab Saudi, untuk memulai diskusi tentang klausul yang tersisa dari perjanjian Riyadh, yang mencakup bidang militer dan politik.
Pemerintah Yaman yang terguling dan Dewan Transisi Selatan menandatangani kesepakatan untuk mengakhiri konflik pada 5 November 2019, yang dimediasi oleh pemerintah Saudi di Riyadh setelah enam bulan pertempuran sengit, tetapi belum mengimplementasikan kesepakatan tersebut.
Persaingan berdarah antara pemerintah yang digulingkan (sekutu Arab Saudi) dan Dewan Transisi Selatan (dukungan UEA) telah menjadi salah satu komplikasi dari krisis Yaman.
Dan para ahli menafsirkan ini, sebagai perang proksi antara Riyadh dan Abu Dhabi untuk menguasai sumber daya Yaman.
Beberapa sumber mengatakan pembicaraan lebih lanjut antara pejabat Saudi dan Oman diharapkan minggu ini.
Baca Juga : 105 Kali Mengebom dalam 24 Jam Terakhir, Saudi dengan Santai Langgar Gencatan Senjata
Oman, yang memiliki perbatasan yang luas dengan Yaman, selalu menerapkan kebijakan luar negeri yang netral dalam konflik regional dan baru-baru ini menjadi tuan rumah bagi para pemimpin Ansarullah untuk bernegosiasi dan mempermudah proses gencatan senjata.
Salah satu tujuan dari gencatan senjata yang disponsori PBB adalah untuk menghentikan kemajuan gerakan Ansarullah Yaman di provinsi kaya minyak Ma’arib.
Reuters menulis bahwa perjanjian gencatan senjata dapat membuka jalan bagi pembicaraan politik untuk pemerintahan transisi, tetapi proses ini akan sangat melelahkan karena banyak pemimpin suku telah menciptakan milisi independen dan bersenjata untuk diri mereka sendiri.
Menurut kantor berita Fars, kelompok separatis Dewan Transisi Selatan, yang dilatih dan dipersenjatai oleh Uni Emirat Arab, terus mencari pemisahan diri dan kemerdekaan untuk Yaman selatan.
Namun, Arab Saudi telah mencapai kesepakatan pembagian kekuasaan yang rapuh antara mereka dan pemerintah Yaman yang terguling yang didukung oleh Riyadh.
Riyadh, yang pengeluaran militernya telah meningkat menjadi miliaran dolar dalam beberapa tahun terakhir, berusaha menarik diri dari perang Yaman, sesuatu yang dilakukan UEA pada 2019 menyusul meningkatnya kritik Barat serta meningkatnya ketegangan dengan Iran.
Baca Juga : Jubir Koalisi AS Konfirmasikan Ain al-Assad Jadi Sasaran Tembak Sebuah Roket
Di sisi lain, sejak Biden menjabat, pemerintah AS telah mengambil tindakan yang lebih keras terhadap Arab Saudi, dan berusaha untuk mengelola hubungan dan fokus pada menarik investasi ekonomi untuk membebaskan diri dari ketergantungan pada minyak.
Kristen Diwan, seorang ahli di Institut Teluk di Washington, mengatakan Arab Saudi tidak lagi memiliki ambisi untuk Yaman.
Dia menambahkan, “Mereka hanya membutuhkan satu hal: Kesepakatan yang bisa diterapkan untuk mengakhiri serangan roket Houthi dan invasi ke wilayah Saudi, dan beberapa jaminan bahwa Yaman akan independen dari Teheran.”