Damaskus, Purna Warta – Muhammad Julani, kepala pemerintahan sementara Suriah, dijadwalkan melakukan kunjungan ke Washington dalam dua minggu ke depan. Diharapkan dalam kunjungan ini, ia akan menandatangani perjanjian bergabung dengan koalisi internasional anti-ISIS yang dipimpin AS. Sementara itu, “Tom Barrack,” perwakilan khusus AS untuk Suriah, menyatakan bahwa perjanjian antara otoritas Suriah dan Israel akan segera diteken, dan menyebut bahwa “Damaskus berada di jalur normalisasi hubungan dengan Tel Aviv.”
Majalah Lebanon Al-Akhbar, dalam sebuah artikel oleh Amer Ali, menyoroti bahwa kunjungan ini—yang merupakan kunjungan tingkat tinggi pertama pejabat Suriah ke Gedung Putih—dijadwalkan pada tanggal 10 bulan ini, dalam kerangka upaya AS untuk menarik pejabat pemerintah transisi dan meraih “kesuksesan, meski kecil,” dalam penyelesaian masalah Suriah, khususnya rekonsiliasi antara pemerintah saat ini dengan Tel Aviv.
Langkah awal penandatanganan perjanjian sempat gagal di sela-sela Sidang Umum PBB akibat gangguan dari rezim Israel. Israel menambahkan klausul baru dalam teks perjanjian yang menuntut “pembangunan jalur komunikasi antara wilayah pendudukan dan Suwayda” di Suriah.
Perlu dicatat bahwa pada saat itu, pemerintah transisi Suriah menyetujui proposal Israel yang membagi Suriah selatan menjadi tiga zona: pertama, wilayah yang diduduki Israel setelah jatuhnya pemerintah Suriah, termasuk Dataran Tinggi Jabal Al-Sheikh; kedua, wilayah yang dilarang bagi Damaskus untuk hadir, terutama secara militer; dan ketiga, zona udara di atas wilayah tersebut, di mana Israel melarang pesawat tempur Suriah terbang.
Dalam konteks ini, Barrack, dalam pernyataan di sela-sela konferensi “Dialog Manama,” mengungkapkan bahwa perjalanan Julani ke AS akan menandai dimulainya putaran kelima negosiasi langsung antara rezim Israel dan Suriah, dengan mediasi AS, terkait penandatanganan perjanjian keamanan perbatasan komprehensif pada akhir tahun ini.
Barrack mengklaim: “Negosiasi berjalan dengan baik dan kami berharap segera mencapai kesepakatan keamanan, dan Suriah akan berfungsi dengan baik.”
Asaad Al-Shaibani, Menteri Luar Negeri pemerintah transisi Suriah, menambahkan bahwa dalam kunjungan ini, Julani akan membahas isu penghapusan sisa sanksi, rekonstruksi Suriah, dan perang melawan terorisme.
Sebelumnya, koalisi internasional beberapa kali berupaya berunding dengan pejabat pemerintah transisi mengenai kerjasama, termasuk pelaksanaan beberapa operasi bersama seperti penangkapan atau penargetan individu yang dicari Washington di wilayah yang berada di bawah kendali pemerintah transisi. Operasi darat atau pendaratan pasukan terjun payung terhadap tokoh-tokoh suku juga termasuk bentuk kerjasama tersebut.
Dalam konteks ini, rencana penggabungan personel “Tentara Bebas Suriah”—yang dilatih AS di wilayah Al-Tanf—ke dalam Kementerian Dalam Negeri Suriah sebagai pasukan khusus anti-terorisme telah dijalankan. Hal ini menunjukkan bahwa AS untuk mencapai tujuannya di Suriah, dan karena ketidakpercayaan terhadap kementerian pertahanan baru Suriah, masih mengandalkan pasukannya sendiri yang terlatih. Keberadaan pasukan ini, termasuk kelompok ekstremis dan unsur asing, menjadi salah satu simpul masalah utama dalam kasus Suriah.
Masalah lain yang kompleks termasuk otonomi Kurdi, kasus Suwayda (Druze) yang menginginkan pemerintahan otonom, serta perlakuan terhadap minoritas yang terus diserang di wilayah tengah dan pesisir Suriah.
Sementara itu, masalah ekonomi menjadi salah satu prioritas besar pemerintah transisi. Dengan sebagian sanksi Suriah yang dicabut oleh AS, pemerintah transisi berharap meraih kemajuan signifikan di bidang ini, dan juga mengharapkan peran signifikan Arab Saudi, serupa dengan peran Turki, dalam mendukung proses tersebut.


