Pemimpin Hizbullah: Lebanon Hadapi Agresi Israel yang “Berbahaya dan Ekspansionis”

Hizbullah

Beirut, Purna Warta – Sekretaris Jenderal Hizbullah, Sheikh Naim Qassem, menegaskan bahwa Lebanon sedang menghadapi “agresi Israel yang berbahaya dan bersifat ekspansionis” yang harus dihadapi “dengan segala cara.”

Pernyataan tersebut ia sampaikan dalam pidato yang disiarkan televisi pada Jumat, dalam sebuah upacara penghormatan untuk para ulama yang gugur.

Qassem menegaskan bahwa tindakan Israel bersifat “ekspansionis,” seraya mencatat bahwa rezim pendudukan tidak mematuhi perjanjian gencatan senjata yang dicapai tahun lalu, meskipun Lebanon dan gerakan perlawanan telah menjalankannya.

Ia menyatakan bahwa agresi tersebut tidak bertujuan melucuti perlawanan, melainkan untuk menduduki Lebanon dan mulai menerapkan visi “Israel Raya.”

Visi “Israel Raya,” yang mencakup wilayah Palestina yang diduduki Israel serta sebagian Mesir, Yordania, Suriah, dan Lebanon, pernah digambarkan oleh Perdana Menteri Benjamin Netanyahu pada Agustus sebagai “misi historis dan spiritual.” Ia mengatakan kepada media Israel bahwa dirinya merasakan keterikatan mendalam terhadap “visi ini.”

Menekankan bahwa pemerintah Beirut telah memilih jalur diplomasi untuk mengakhiri agresi Israel, Qassem menyatakan bahwa Hizbullah mendukung upaya yang dilakukan otoritas Lebanon dalam hal tersebut.

Namun, ia menegaskan bahwa AS dan Israel tidak boleh ikut campur dalam urusan internal negara maupun strategi pertahanannya.

Pemimpin Hizbullah itu menekankan bahwa senjata perlawanan dan kemampuan pertahanan negara untuk menghadapi agresi apa pun adalah hal yang tidak dapat dinegosiasikan.

“Kami akan membela diri, rakyat kami, dan negara kami, dan kami siap berkorban semaksimal mungkin dan tidak akan menyerah,” ujarnya.

Qassem menekankan bahwa pelucutan senjata perlawanan dan konsesi apa pun dari pemerintah Lebanon tidak akan memuaskan ambisi ekspansionis Israel, seraya menambahkan bahwa Israel harus mematuhi ketentuan perjanjian gencatan senjata.

Pernyataannya muncul ketika Perdana Menteri Lebanon, Nawaf Salam, pada Agustus menugaskan angkatan bersenjata negara itu untuk menyusun rencana yang membatasi kepemilikan senjata hanya kepada negara sebelum akhir tahun—sebuah langkah yang bertujuan melucuti gerakan perlawanan Hizbullah, yang selama puluhan tahun membela Lebanon dari agresi eksternal, terutama dari musuh Israel.

Para pejabat pemerintah Lebanon juga telah membahas lebih lanjut proposal AS yang bertujuan melucuti Hizbullah dan menyatakan dukungan atas “tujuan-tujuannya.”

“Mereka ingin melucuti [perlawanan], memutus sumber finansial, menghentikan layanan, menutup sekolah dan rumah sakit, mencegah rekonstruksi, menghentikan donasi, dan menghancurkan rumah-rumah; dengan kata lain, mereka ingin menghapus keberadaan kami,” kata Qassem, sembari menekankan pentingnya persatuan rakyat Lebanon untuk menggagalkan rencana musuh.

Ia mencatat bahwa penarikan Israel dari Beirut terjadi berkat pukulan-pukulan yang diberikan perlawanan kepada rezim pendudukan.

Pemimpin Hizbullah itu mendesak pemerintah Lebanon untuk menjalankan tanggung jawabnya, khususnya dalam melindungi kedaulatan negara, membangun negara, serta memperkuat perekonomian, seraya menambahkan bahwa negara-negara arogan berupaya menyingkirkan Hizbullah karena proyek nasionalnya yang menyerukan pembebasan, kemerdekaan, dan martabat.

Israel dan Hizbullah mencapai gencatan senjata yang berlaku pada 27 November 2024. Berdasarkan kesepakatan tersebut, Tel Aviv diwajibkan menarik seluruh pasukannya dari wilayah Lebanon—namun tetap mempertahankan pasukan di lima lokasi, yang secara jelas melanggar Resolusi 1701 Dewan Keamanan PBB dan ketentuan perjanjian November 2024.

Sejak gencatan itu diterapkan, Israel telah melanggar kesepakatan ribuan kali melalui serangkaian serangan di wilayah Lebanon. Otoritas Lebanon telah memperingatkan bahwa pelanggaran gencatan senjata oleh rezim tersebut mengancam stabilitas nasional.

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *