Kairo, Purna Warta – Seorang ilmuwan muda di bidang kimia nuklir di Mesir menjadi sasaran serangan bersenjata pada Rabu malam (21 Aban 1404). Pelaku tak dikenal melepaskan 13 tembakan dari jarak dekat, menewaskan korban di jalan sebelum melarikan diri.
Baca juga: Serangan Luas Militer Israel ke Tepi Barat dan Wilayah Timur Gaza
Harian elektronik Rai al-Youm, dalam sebuah artikel yang ditulis oleh Khaled al-Jayousi, menyebutkan bahwa insiden ini tampaknya merupakan operasi Mossad. Tidak ada bukti atau konfirmasi resmi, namun targetnya bukan orang biasa—ia adalah seorang insinyur kimia nuklir berusia 35 tahun. Karena itu, diduga kuat bahwa ia masuk dalam daftar target intelijen Israel.
Sebanyak 13 peluru ditembakkan kepada insinyur tersebut di tengah jalan, menandakan bahwa pihak yang merencanakan operasi ini bertekad memastikan keberhasilannya.
Pihak berwenang Mesir membantah adanya motif politik dalam insiden tersebut. Mereka menyatakan bahwa kejadian itu merupakan perselisihan pribadi antara korban dan pelaku. Disebutkan bahwa korban adalah pemuda bergelar sarjana teknik yang bekerja sebagai “perwakilan penjualan”.
Yang menarik, otoritas Mesir mengatakan pelaku adalah seorang pasien gangguan mental yang sebelumnya dirawat di rumah sakit jiwa. Pernyataan ini memunculkan banyak tanda tanya, sebab biasanya kejahatan misterius sering dialihkan kepada individu dengan riwayat gangguan kejiwaan untuk menutup kasus yang berpotensi kontroversial.
Namun, narasi resmi ini tidak sesuai dengan rincian kejadian. Laporan lokal mengutip saksi mata yang mengatakan bahwa pelaku naik ke sebuah mobil Lada yang telah menunggunya di salah satu gang dekat lokasi, lalu menghilang hanya beberapa menit setelah pembunuhan. Operasi ini digambarkan sangat profesional dan terencana.
Pertanyaannya: apakah benar Mesir telah menangkap pelaku sebenarnya? Narasi lain menegaskan bahwa pembunuh tersebut meninggalkan lokasi di depan banyak orang dan menghilang, serta kemungkinan terkait dengan badan intelijen asing. Tel Aviv sendiri memiliki riwayat panjang dalam membunuh ilmuwan nuklir di Iran maupun Irak.
Peristiwa ini terjadi hanya beberapa hari setelah pertemuan Sekretaris Dewan Keamanan Rusia Sergei Shoigu dengan Presiden Mesir Abdel Fattah el-Sisi di Kairo, di mana Shoigu mengumumkan bahwa pemasangan badan reaktor pertama di pembangkit nuklir Dabaa akan dilakukan pada 19 November tahun ini.
Pemerintah Mesir tengah mempercepat pembangunan pembangkit listrik tenaga nuklir Dabaa di kawasan dengan nama yang sama di utara negara tersebut, bekerja sama dengan Rusia. Tujuannya adalah mengoperasikan pembangkit tersebut lebih awal dari jadwal semula tahun 2029 untuk memenuhi kebutuhan energi baru Mesir. Mesir juga menegaskan komitmennya pada standar keselamatan tertinggi dalam program nuklirnya, serta menerapkan program komprehensif di bidang keamanan nuklir bekerja sama dengan Badan Tenaga Atom Internasional (IAEA).
Jurnalis Mesir Mustafa Bakri menulis di platform X bahwa polisi Mesir berhasil menangkap pembunuh sang insinyur nuklir serta menyita senjata yang digunakan hanya beberapa jam setelah kejadian misterius tersebut. Ia menambahkan bahwa aparat keamanan Mesir setiap hari menunjukkan kemampuan luar biasa dalam mengungkap kejahatan dan menangkap pelakunya dalam waktu singkat.
Pihak berwenang Mesir tidak ingin memberi nuansa politik pada kasus ini, karena hal itu akan menunjukkan bahwa unsur asing telah menembus keamanan negara dan berhasil melakukan operasi tanpa terdeteksi aparat Mesir. Media Mesir juga menyoroti bahwa korban tidak bekerja di bidang keahliannya—yakni teknik nuklir—yang menjadi fokus pemberitaan.
Hubungan Mesir dan rezim Israel, meskipun terikat perjanjian damai, tidak berada dalam kondisi terbaik—yang memperkuat dugaan keterlibatan Mossad dalam pembunuhan ini. Selama agresi militer Israel di Gaza, Tel Aviv berulang kali mengeluhkan kepada Washington bahwa Mesir menghentikan pengawasan terhadap pengerahan militer di Sinai. Pejabat Israel juga menyatakan kekhawatiran terhadap peningkatan kekuatan dan peralatan militer Mesir di Sinai melebihi batas yang diperbolehkan dalam perjanjian damai.
Israel secara resmi mengumumkan bahwa mereka membentuk zona militer tertutup untuk mencegah “penyelundupan senjata”. Langkah ini menimbulkan kekhawatiran baru mengenai meningkatnya ketegangan antara Israel dan Mesir—ketegangan yang mulai mencuat sejak perang Gaza dan semakin memburuk setelah pendudukan Israel atas sisi Palestina di penyeberangan Rafah dan penempatan pasukannya di Koridor Philadelphi sekitar setahun lalu.
Pusat Studi Keamanan Nasional Israel, dalam sebuah laporan, menegaskan bahwa perang Gaza sejak Oktober 2023 telah mendefinisikan ulang hubungan Mesir-Israel dan menunjukkan kekuatan nyata Mesir.
Laporan tersebut menyebutkan bahwa perang Gaza telah menempatkan “perdamaian dingin” antara Israel dan Mesir sejak Perjanjian Camp David 1979 dalam ujian eksistensial yang dapat mengancam stabilitas dalam jangka menengah.
Meski jalur komunikasi keamanan dan ekonomi tidak terputus, hubungan di tingkat kepemimpinan berhenti total. Dengan tidak adanya duta besar dan interaksi yang terbatas hanya pada level teknis dan keamanan, hubungan diplomatik antara Kairo dan Tel Aviv kini berada pada titik terendah.
Pembunuhan misterius lainnya juga pernah terjadi di Mesir dan rahasianya baru terungkap belakangan. Misalnya, Samira Moussa, ilmuwan nuklir Mesir, yang wafat pada 15 Agustus 1952 setelah mobilnya ditabrak kendaraan dari arah berlawanan di jalan pegunungan California. Kasus tersebut ditutup tanpa penjelasan meyakinkan, hingga pada 2015 Rita David Thomas, cucu Rachel Ibrahim (dikenal sebagai Raqia Ibrahim), menyatakan bahwa neneknya terlibat dalam pembunuhan tersebut. Raqia, yang merupakan sahabat dekat Samira dan menikah dengan seorang Yahudi-Amerika, disebut pernah meminta Samira meninggalkan penelitian nuklir demi memperoleh kewarganegaraan AS, dan memperingatkannya bahwa bila menolak, ia akan menghadapi nasib yang tidak diketahui. Samira menolak dan memutuskan hubungan dengannya.


