Pejabat Senior Bahrain Dipecat Karena Menghina Duta Besar Israel

Pejabat Senior Bahrain Dipecat Karena Menghina Duta Besar Israel

Manama, Purna Warta Jaringan berita televisi berbahasa Arab al-Mayadeen Lebanon melaporkan bahwa Shaikha Mai binti Mohammad Al Khalifah, presiden Otoritas Bahrain untuk Kebudayaan dan Purbakala, dipecat atas perintah Raja Bahrain Hamad bin Isa Al Khalifah, karena menghina duta besar Israel.

Kontroversi muncul bulan lalu, ketika Duta Besar Amerika Serikat untuk Bahrain Steven C. Bondy mengadakan upacara peringatan di rumahnya untuk ayahnya, yang mengundang Sheikha Mai.

Baca Juga : 17 Agresi Rezim Israel ke Suriah Sejak Awal 2022

Saat menyapa para tamu di upacara tersebut, anggota keluarga kerajaan Bahrain dilaporkan menarik tangannya dan menolak untuk menjabat tangan Eitan Na’eh, duta besar Israel di Manama, dan hal itu dinilai bahwa pejabat senior wanita itu menghina dubes zionis itu.

Dia kemudian pergi dan meminta kedutaan Amerika Serikat untuk tidak mempublikasikan foto dirinya menghadiri upacara tersebut, menurut laporan tersebut.

Sheikha Mai telah menjalankan tugas resmi selama lebih dari 20 tahun. Dia sebelumnya menjabat sebagai menteri informasi Bahrain, wanita pertama yang memegang jabatan tersebut.

Dia juga menjabat sebagai menteri budaya Bahrain dan dinobatkan sebagai wanita Arab terkuat keenam tahun 2014 dalam daftar yang disusun oleh Forbes Timur Tengah.

Akhir-akhir ini, Shaikha Mai dilaporkan menentang rencana yang ditujukan untuk Yudaisasi lingkungan Manama Lama, seperti Bab al-Bahrain di kawasan pusat bisnis Manama dan Jalan al-Mutanabbi.

Baca Juga : Apakah Putin Mampu Merubah Peta Pertarungan di Tehran?

Pada 30 November tahun lalu, Shaikha Mai menjamu sejarawan Israel dan aktivis sosialis Ilan Pappé, yang menulis buku tentang “pembersihan etnis Palestina” dan menentang kebijakan pendudukan yang sedang berlangsung di wilayah Palestina yang ditaklukkan oleh Israel pada tahun 1967, serta pencegahan kembalinya pengungsi Palestina yang diusir selama dan setelah Nakbah 1948, di Sheikh Ibrahim Center.

Kelompok perlawanan Palestina memberi hormat kepada Shaikha Mai

Sementara itu, kelompok perlawanan Palestina yang berbasis di Gaza memuji penolakan Sheikha Mai untuk berjabat tangan dengan duta besar Israel di ibukota Bahrain.

Tariq Salmi, juru bicara gerakan Jihad Islam, mengatakan dalam sebuah pernyataan pers bahwa kelompoknya menyuarakan solidaritas bersama mantan menteri Bahrain, dan menekankan bahwa dia mengambil keputusan praktis dan berani dalam menolak normalisasi dengan Israel, dan tidak peduli dengan konsekuensi yang mungkin terjadi. Tindakannya merupakan perwujudan dari keinginan sejati pria dan wanita Palestina yang merdeka.

Penolakan Sheikha Mai untuk berjabat tangan dengan Na’eh adalah “cerminan sejati dari sikap asli rakyat Bahrain dalam mendukung Palestina,” juru bicara Hamas Hazem Qasem juga mengatakan dalam sebuah pernyataan.

Gerakan perlawanan Palestina mengatakan bahwa semua upaya untuk menormalkan hubungan dengan Israel akan “tetap tidak dapat diterima dalam kesadaran kolektif Arab.”

Baca Juga : Bennett Tolak Tawaran Jabatan Menlu Israel

Selain itu, Gerakan Mujahidin Palestina memuji keputusan Shaikha Mai dan Front Populer untuk Pembebasan Palestina (PFLP) yang meminta semua orang Arab, termasuk negara Bahrain, untuk menentang keras normalisasi dengan rezim Tel Aviv.

Orang-orang Bahrain telah mengadakan banyak demonstrasi di negara itu selama dua tahun terakhir untuk memprotes keputusan rezim Al Khalifah dalam menormalkan hubungan dengan Israel melalui apa yang disebut Kesepakatan Abraham, dan menyatakan dukungan teguh mereka untuk perjuangan Palestina.

Pejabat senior Hizbullah: Bahrain melakukan ‘kejahatan historis’ dengan menormalkan hubungan dengan Israel melalui apa yang disebut Kesepakatan Abraham. Hizbullah mengungkapkan dukungan teguh mereka untuk perjuangan Palestina.

Bahrain, bersama dengan Uni Emirat Arab, menandatangani kesepakatan normalisasi dengan rezim Tel Aviv dalam sebuah upacara yang diselenggarakan oleh mantan presiden AS Donald Trump di Gedung Putih pada September 2020.

Sudan dan Maroko mengikutinya di akhir tahun dan menandatangani kesepakatan normalisasi serupa yang ditengahi Amerika Serikat dengan rezim pendudukan.

Baca Juga : Paus Berangkat Ke Kanada Untuk Meminta Maaf Atas Skandal Sekolah Pribumi

Palestina mengecam kesepakatan itu sebagai “tikaman dari belakang” yang berbahaya dan pengkhianatan terhadap perjuangan mereka terhadap pendudukan Israel selama beberapa dekade di wilayah Palestina.

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *