Manamah, Purna Warta – Menentang larangan keras rakyat Bahrain, Menteri Luar Negeri Israel Yair Lapid telah tiba di Bahrain untuk menandai kunjungan pertama ke negara kecil Teluk Persia tersebut oleh seorang pejabat senior Israel setahun setelah penandatanganan Kesepakatan Abraham untuk membangun hubungan diplomatik.
Dia mendarat di bandara Manamah, di mana penerbangan komersial pertama antara Bahrain dan Israel lepas landas, untuk melakukan pertemuan dengan otoritas tinggi Bahrain dan meresmikan kedutaan Israel di sana.
Kunjungan Lapid ke Bahrain bertujuan untuk memajukan kesepakatan normalisasi yang didorong AS antara Israel dan sejumlah negara Arab, termasuk UEA, Bahrain, Sudan, dan Maroko. Dia akan membuka kedutaan Israel di Manamah.
Diplomat top Israel telah membuka kedutaan Israel di Abu Dhabi dan berjanji untuk segera mendirikan kedutaan rezim di Rabat. Namun, menteri luar negeri Sudan mengatakan pada akhir pekan bahwa negaranya tidak memiliki rencana untuk membuka kedutaan besar Israel di Khartoum.
Palestina telah mencela perjanjian normalisasi dengan Israel sebagai “tikaman dari belakang” untuk tujuan mereka.
Perjanjian tersebut telah memicu reaksi keras di seluruh wilayah. Orang-orang mengutuk kekejaman rezim Israel yang terus berlanjut terhadap warga Palestina dan mengecam hubungan apa pun dengan rezim tersebut, menyebutnya sebagai sebuah “pengkhianatan”.
Di pinggiran Manamah, pada Kamis pagi (30/9) pengunjuk rasa membakar ban untuk menyuarakan kemarahan mereka atas kunjungan Lapid.
Di media sosial, tagar #BahrainRejectsZionists dalam bahasa Arab beredar menentang langkah tersebut.
Selama kunjungan Lapid, Bahrain dan Israel dijadwalkan untuk menandatangani sejumlah perjanjian untuk lebih mempererat hubungan bilateral, termasuk kesepakatan ekonomi dan kerja sama antara rumah sakit dan perusahaan air.
“Kami melihat Bahrain sebagai mitra penting, baik di tingkat bilateral tetapi juga sebagai jembatan kerjasama dengan negara-negara lain di kawasan itu,” kata Lior Haiat, juru bicara Kementerian Luar Negeri Israel.
Awal bulan ini yang merupakan ulang tahun pertama Kesepakatan Abraham, Menteri Luar Negeri AS Antony Blinken berjanji untuk menjaga agar normalisasi terus berjalan.
“Kami akan mendorong lebih banyak negara untuk mengikuti jejak Emirates, Bahrain dan Maroko,” kata Blinken.
Sheikh Qassim: Normalisasi adalah ‘pengkhianatan yang menjijikkan’
Menjelang perjalanan Lapid, kelompok oposisi utama Bahrain, Masyarakat Islam Nasional al-Wefaq, menyatakan perjalanan itu sebagai sebuah ancaman, dengan mengatakan, “Ini adalah berita provokatif dan perjalanan ini sepenuhnya ditolak, dan dia (Lapid) tidak boleh menginjakkan kaki di sana, tanah Bahrain.”
“Setiap kehadiran Israel di tanah Bahrain berarti menghasut perasaan rakyat Bahrain juga upaya putus asa untuk melanggar kata dan kehendak mereka. Pada saat yang sama, pelanggaran besar terhadap hak mereka dalam masalah-masalah penting dan prinsipil,” kata al-Wefaq dalam sebuah pernyataan.
Al-Wefaq mencatat bahwa rezim Manamah yang mengundang rezim Israel ke Bahrain tidak memiliki hak dan tidak diberi wewenang oleh rakyat Bahrain untuk menjalin hubungan dengan Israel.
“Oleh karena itu, komunikasi atau hubungan apapun ditolak, dikutuk dan dicela.” Lanjut kelompok itu.
Ulama Syiah paling terkemuka di Bahrain Sheikh Isa Qassim juga mengecam normalisasi rezim Manamah dengan Israel. Ia mengatakan hal tersebut sebagai “pengkhianatan menjijikkan” dan “perang politik” yang dilakukan oleh rezim penguasa Bahrain terhadap rakyat negara itu.
Dalam pernyataan yang diterbitkan melalui akun Twitter-nya, pemimpin spiritual al-Wefaq mengatakan langkah itu disertai dengan intimidasi, kemiskinan, pemenjaraan, pemindahan, penghinaan, marginalisasi dan perampasan hak-hak rakyat Bahrain.
“Bahrain bersikeras pada identitasnya dalam menghadapi kebijakan rezim yang berkuasa, dan perlawanan ini akan terus bertahan,” tambahnya.