Vienna, Purna Warta – Badan Energi Atom Internasional (IAEA) pada hari Senin mencatat perkembangan baru dalam program nuklir Iran.
Badan Energi Atom Internasional mengatakan pada hari Senin bahwa Iran telah menambahkan 20 persen lebih uranium yang diperkaya ke centrifuge canggih. Hal ini merupakan tambahan dari 60 persen uranium yang diperkaya sebelumnya di situs Nazanz.
Menurut Reuters, pengawasan nuklir dari PBB mengatakan dalam sebuah pernyataan: “Iran telah menginformasikan kepada Badan Energi Atom Internasional pekan lalu bahwa untuk sementara Iran menambah 20 persen uranium yang diperkaya.
Badan Energi Atom Internasional menambahkan bahwa mereka telah memverifikasi bahwa Iran mulai maju untuk sentrifugal IR-6, walaupun produk bahan dasarnya belum dikumpulkan.
“Mohammad Eslami, kepala Organisasi Energi Atom Iran, baru-baru ini mengatakan dalam sebuah wawancara televisi tentang penyimpanan uranium yang diperkaya 20%: “Kami telah melebihi 120 kg lebih cepat dari jadwal sebelumnya, bahkan melebihi dari kesepakatan JCPOA. Bahan bakar uranium seharusnya digunakan sebelumnya sebanyak 20% ke reaktor Teheran, tetapi tidak diberikan. Jika hal ini tidak dilakukan, maka masalah besar yang akan terjadi hari ini.”
Laporan itu muncul saat Wakil Menteri Luar Negeri Iran Ali Bagheri dijadwalkan bertemu di Brussel pada Rabu dengan Enrique Mora, koordinator Komisi Gabungan.
“Iran bertekad untuk merundingkan pencabutan sanksi yang menindas dan ilegal secara lengkap dan efektif. Hal ini dilakukan untuk memastikan normalisasi perdagangan dan hubungan ekonomi dengan Iran, dan untuk memberikan jaminan yang kredibel terhadap ketidak berpihakan lebih lanjut,” tulis Bagheri dalam pesan Twitter.
Sejauh ini, enam putaran pembicaraan telah diadakan di Wina antara Amerika Serikat dan pihak lain anggota JCPOA selain Iran. Pembicaraan ini dilaksanakan tidak lain untuk memfasilitasi kembalinya Amerika Serikat ke perjanjian JCPOA. Para pihak mengatakan kemajuan nyata telah dibuat dalam pembicaraan, tetapi beberapa perbedaan tetap ada.
“Semua sekutu dan mitra AS sangat prihatin dengan kecepatan dan arah program nuklir Iran,” kata Menteri Luar Negeri AS Robert Mali kepada wartawan hari ini (25/10).
Utusan AS untuk Iran menambahkan: “Jendela diplomasi tidak akan pernah tertutup dan kami akan terus mengejar diplomasi bahkan jika langkah lebih lanjut diperlukan, tetapi hal ini tidak berarti jendela untuk menghidupkan kembali Rencana Aksi Gabungan Komprehensif (JCPOA) terbuka selamanya.”
Dengan meninggalkan JCPOA secara sepihak, pemerintahan Trump berusaha memberikan tekanan maksimum pada Iran untuk mencapai kesepakatan yang lebih baik dengan negara ini. Politisi AS, terutama Menteri Luar Negeri Mike Pompeo, telah meningkatkan upaya mereka melawan Iran sejak meninggalkan JCPOA.
Di sisi lain, ketika wabah Corona melanda dunia, Washington tidak mengizinkan Iran mengakses sumber daya keuangannya di beberapa negara untuk menyediakan obat-obatan dan pasokan penting lainnya.
Pemerintahan Trump berakhir pada 11 Februari 2017, tetapi gagal mencapai tujuannya untuk membuat Iran bertekuk lutut.
Pemerintahan pasca-Trump, Biden, pada awalnya mengklaim akan berusaha kembali ke kesepakatan JCPOA. Akan tetapi kenyataannya Biden masih meneruskan kebijakan pemerintahan sebelumnya dan tidak mau mencabut sanksi terhadap Iran setelah penarikan AS dari JCPOA.