Beirut, Purna Warta – Sekretaris Jenderal gerakan perlawanan Hizbullah Lebanon Sayid Hasan Nasrallah menyampaikan pidato di televisi untuk memperingati hari kelahiran Nabi Muhammad saw di Beirut, Lebanon, pada Senin (2/10) dan menyinggu masalah normalisasi dengan Israel.
Pemimpin gerakan perlawanan Hizbullah di Lebanon mendesak umat Islam di seluruh dunia untuk mengutuk keras setiap langkah yang diambil oleh negara mana pun menuju normalisasi hubungan dengan Israel.
Baca Juga : Perundingan Utusan PBB dengan Otoritas Qatar tentang Yaman
Sayid Hasan Nasrallah menyampaikan pernyataan tersebut dalam pidatonya yang disiarkan televisi pada hari Senin dalam rangka peringatan kelahiran Nabi Muhammad saw. “Negara mana pun yang bergerak menuju normalisasi hubungannya [dengan Israel] harus dikecam, karena langkah ini sama saja dengan meninggalkan Palestina dan memperkuat musuh [Zionis], dan hal ini tidak boleh ditoleransi,” kata pemimpin Hizbullah itu.
Nasrallah dengan jelas merujuk pada upaya terbaru Amerika Serikat untuk membujuk Arab Saudi agar menormalisasi hubungannya dengan rezim Israel.
Di bagian lain pidatonya, Nasrallah mendesak Umat Islam untuk memenuhi tanggung jawabnya terhadap rakyat Palestina dan Masjid al-Aqsa. “Umat Muslim harus memikul tanggung jawab atas apa yang terjadi pada orang-orang Palestina dan Masjid al-Aqsa yang pemberani, dan Zionis harus mendengar suara dunia Muslim sehubungan dengan kiblat pertama umat Islam.” Tegasnya.
Negara-negara Arab dan Muslim mengkritik Riyadh karena tetap membuka pintu terhadap dorongan baru Amerika Serikat untuk mencapai kesepakatan normalisasi antara Arab Saudi dan Israel, dengan mengatakan hal itu merupakan pengkhianatan terhadap perjuangan Palestina dan mendorong rezim Israel untuk mengintensifkan agresinya.
Baca Juga : Suku Arab Suriah Serang Posisi Tentara Bayaran Amerika
Gerakan perlawanan Palestina percaya bahwa Israel telah semakin berani dengan potensi keberhasilan upaya normalisasi hubungan dengan Arab Saudi. Mereka mengatakan bahwa upaya yang dilakukan para pemukim ekstremis dalam beberapa pekan terakhir untuk secara teratur hadir di Masjid al-Aqsa menunjukkan bahwa rezim tersebut ingin meningkatkan tekanan terhadap Palestina.
Laporan menunjukkan bahwa Washington akan memberi penghargaan kepada Arab Saudi karena menormalisasi hubungan dengan Israel melalui pakta keamanan besar serta dukungan terhadap rencana kerajaan tersebut untuk mengembangkan program nuklir damai.
Hal ini terjadi ketika seruan untuk kehadiran rutin ekstremis Yahudi di Masjid Aqsa semakin meningkat dalam beberapa hari terakhir bersamaan dengan hari libur yang menandai hari raya Yahudi. Polisi Israel mengizinkan pemukim memasuki kompleks Masjid al-Aqsa meskipun ada kecaman berulang kali dari warga Palestina dan komunitas internasional. Insiden-insiden provokatif telah meningkat sejak kabinet sayap kanan Perdana Menteri Benjamin Netanyahu mulai menjabat pada bulan Desember lalu.
Serangan semacam itu terjadi meskipun terdapat fakta bahwa ibadah non-Muslim di kompleks Masjid al-Aqsa dilarang berdasarkan perjanjian antara rezim pendudukan Israel dan pemerintah Yordania setelah perebutan Timur al-Quds oleh rezim tersebut pada tahun 1967.
Baca Juga : Pertempuran Menyebar ke Sudan Selatan, Ribuan Orang Mengungsi
Di bagian lain pidatonya, Nasrallah menyinggung perang media Barat terhadap negara-negara Muslim, yang menurutnya bertujuan untuk melemahkan negara-negara tersebut dan mencapai tujuan yang belum terwujud melalui perang.
“Musuh menggunakan perang media, yang juga dikenal sebagai perang lunak, untuk melemahkan negara-negara dan… mencapai tujuan-tujuan tersebut, yang gagal mereka wujudkan melalui perang militer,” kata Nasrallah.
Ia juga menunjuk pada masalah ekonomi yang dihadapi Suriah dan pengungsian sejumlah besar penduduknya akibat perang teroris yang disponsori Barat melawan Damaskus, dan menekankan bahwa Amerika Serikat adalah penyebab utama di balik krisis pengungsi Suriah.
“Pihak utama yang bertanggung jawab atas masuknya pengungsi ke Lebanon adalah pihak yang mengobarkan perang di Suriah, yaitu pemerintah AS,” kata pemimpin Hizbullah itu.
“Setelah penerapan Caesar Act, Amerika Serikat juga bertanggung jawab atas krisis ekonomi di Suriah. Mereka yang percaya bahwa pengungsi Suriah adalah ancaman bagi Lebanon harus memberitahu Washington bahwa Lebanon akan diselamatkan melalui pencabutan Caesar Act,” kata Nasrallah.
Baca Juga : Dalam Rangka Perayaan Maulid Nabi, Ayatullah Khamanei Beri Amnesti Lebih dari Dua Ribu Tahanan
Suriah telah menjadi target sanksi AS sejak tahun 1979. Menyusul dimulainya perang teroris yang disponsori asing di negara tersebut pada tahun 2011, AS dan sekutu Baratnya memberlakukan beberapa sanksi terhadap negara Arab tersebut.
Sanksi tersebut semakin intensif dengan disahkannya Caesar Act pada tahun 2019, yang menargetkan setiap individu dan dunia usaha yang berpartisipasi baik secara langsung maupun tidak langsung dalam upaya rekonstruksi Suriah.