Tehran, Purna Warta – Berbicara dalam sebuah acara penghormatan terhadap komandan anti-teror Iran yang gugur, Jenderal Qassem Soleimani, pada Selasa, Araghchi mengatakan bahwa musuh tidak memahami fakta bahwa darah para martir adalah senjata di tangan perlawanan.
Baca juga: Israel Tingkatkan Kampanye Propaganda, Anggarkan $150 Juta Untuk Tutupi Genosida
“Gagasan perlawanan tidak dapat dihancurkan oleh serangan militer dan pengeboman,” tegasnya.
“Terlepas dari semua naik turun, pukulan, dan darah, gagasan perlawanan terus berkembang. Musuh seharusnya tidak menganggap bahwa pukulan yang mereka berikan pada front perlawanan dalam beberapa bulan terakhir akan merusak tujuan atau melemahkannya. Justru gagasan ini akan menjadi lebih kuat.”
Diplomat Iran itu juga memuji Jenderal Soleimani yang gugur karena memberikan aspek praktis pada perlawanan dan mengubahnya menjadi sebuah gerakan yang memiliki kehadiran kuat di kawasan serta melawan Israel dan hegemoni Barat.
Jenderal Soleimani, komandan Pasukan Quds dari Korps Pengawal Revolusi Islam (IRGC) Iran, dibunuh pada 3 Januari 2020 bersama rekan-rekannya dalam serangan drone AS yang disetujui oleh Presiden AS saat itu, Donald Trump, di dekat Bandara Internasional Baghdad.
Dia sangat dihormati di seluruh Asia Barat karena perannya yang penting dalam memerangi kelompok teroris Takfiri Daesh di Irak dan Suriah.
Dalam pernyataannya, Araghchi juga menyinggung pembunuhan para pemimpin perlawanan, termasuk Sekretaris Jenderal Hizbullah Sayyid Hasan Nasrullah, oleh Israel.
“Saya tidak meragukan bahwa darah Syahid Nasrullah akan membuat Hezbollah menjadi lebih kuat dan lebih tangguh,” ujarnya.
Baca juga: Sistem Pertahanan Udara Iran Mencegat Bunker Buster Dalam Latihan Perang
Mengenai perkembangan terbaru di Suriah, dia menyebut bahwa tentara Suriah mengalami pukulan psikologis sebelum pukulan militer melalui perang media, seraya mencatat, “Tentara Suriah dikalahkan sebelum mereka dapat bertempur, dan mereka gagal memberikan perlawanan.”