Damaskus, Purna Warta – Sejak 8 Desember 2024, bertepatan dengan jatuhnya Damaskus ke tangan kelompok bersenjata Hay’at Tahrir al-Sham, tentara rezim Zionis Israel melancarkan operasi militer besar-besaran bernama Pikan Bashan (Bashan adalah nama Ibrani untuk sebuah wilayah di Suriah saat ini) di Dataran Tinggi Golan yang diduduki. Operasi ini merupakan serangan darat terbesar rezim Zionis Israel terhadap negara Arab di luar perbatasan Palestina yang diduduki sejak tahun 1982.
Program Di Dalam Kotak, yang disiarkan oleh jaringan berita Al-Alam, dalam salah satu episode terbarunya menganalisis serangan rezim Zionis Israel ke Suriah serta tujuan tersembunyi di balik serangan ini yang dirancang oleh Amerika Serikat. Peristiwa ini, yang sengaja diabaikan oleh banyak media, dibahas secara mendalam dalam program Al-Alam.
Pada malam 25 dan 26 Februari 2025, jet tempur rezim Zionis Israel menyerang kawasan Al-Kiswah di selatan Damaskus, ibu kota Suriah. Tak lama setelah serangan ini, jaringan Al Jazeera melaporkan bahwa target serangan tersebut adalah “bekas pangkalan militer tentara Suriah” di daerah tersebut. Demikian pula, Al Hadath dalam laporannya menyebut adanya infiltrasi pasukan Zionis Israel ke wilayah yang dikuasai kelompok bersenjata di antara provinsi Daraa dan Quneitra.
Baik Al Jazeera maupun Al Hadath berusaha menciptakan persepsi bahwa serangan rezim Zionis Israel terhadap Suriah bukanlah serangan terhadap kedaulatan negara tersebut, melainkan hanya menargetkan situs-situs militer lama yang diklaim sudah tidak berfungsi. Media-media ini juga mencoba menyampaikan pesan kepada audiens mereka bahwa serangan tersebut tidak memiliki konsekuensi militer atau politik yang signifikan dan dapat diabaikan.
Pada malam yang sama, beberapa media yang mendukung pemerintahan baru Suriah mengklaim bahwa “Suriah dulu berada di bawah pendudukan (mengacu pada era keluarga Assad), dan sekarang pendudukan itu telah berakhir.” Pernyataan ini secara implisit menolak segala bentuk pendudukan atas wilayah Suriah oleh rezim Zionis Israel atau Amerika Serikat dan secara tidak langsung mengisyaratkan langkah menuju normalisasi hubungan dengan penjajah Zionis Israel.
Bahkan, ia tetap diam terkait pendudukan wilayah baru di selatan Suriah oleh rezim Zionis Israel dan pembentukan zona penyangga yang mencakup seluruh wilayah selatan Suriah.
Pernyataan Al-Joulani ini bertepatan dengan operasi udara terbesar dalam sejarah agresi Zionis Israel terhadap Suriah. Dalam operasi ini, lebih dari 1.000 serangan udara dilancarkan, banyak di antaranya menargetkan daerah permukiman warga Suriah. Akibat dari serangan besar-besaran ini, pendudukan wilayah Suriah meluas dari Dataran Tinggi Golan hingga lebih dari 30 desa, kota kecil, dan lahan pertanian, yang kini berada di bawah kendali langsung tentara Zionis Israel.
Berdasarkan laporan-laporan yang terdokumentasi, luas wilayah Suriah yang diduduki oleh rezim Zionis Israel setelah 8 Desember 2024, tanpa menghitung Dataran Tinggi Golan, telah mencapai lebih dari 460 kilometer persegi. Angka ini bahkan lebih besar dibandingkan dengan luas wilayah yang diduduki di Gaza dan Lebanon selama 16 bulan terakhir setelah operasi Badai Al-Aqsa.
Perkembangan ini menunjukkan meningkatnya krisis di kawasan serta bertambahnya campur tangan asing dalam urusan Suriah, sementara media internasional dan beberapa pihak dalam negeri lebih memilih untuk mengabaikan atau memutarbalikkan fakta ini.