Jakarta, Purna Warta – Ukraina menolak mentah-mentah proposal damai yang diajukan Menteri Pertahanan Indonesia, Prabowo Subianto. Mereka menganggap proposal itu aneh, terdengar seperti usulan Rusia, bukan Indonesia.
“Terdengar seperti usulan Rusia, bukan usulan Indonesia. Kami tidak butuh mediator seperti ini datang ke kami [dengan] rencana aneh ini,” ujar Menteri Pertahanan Ukraina, Oleksii Reznikov, seperti dikutip AFP, Sabtu (3/6).
Reznikov melontarkan penolakan ini tak lama setelah Prabowo menyampaikan proposal perdamaian ketika berpidato di Shangri-La Dialogue di Singapura.
Dalam pidato itu, Prabowo menyodorkan tiga poin untuk menghentikan perang antara Rusia dan Ukraina, yaitu gencatan senjata, penarikan pasukan, dan referendum.
“Yang pertama harus dilakukan adalah meminta pihak Ukraina dan Rusia untuk menerapkan gencatan senjata,” ujar Prabowo, seperti dilansir kantor berita Antara.
Selanjutnya, Prabowo juga mendesak pasukan kedua negara mundur sejauh 15 kilometer dari titik gencatan senjata demi menciptakan wilayah demiliterisasi.
Ia mengatakan bahwa zona demiliterisasi ini nantinya harus diamati dan dipantau oleh pasukan penjaga perdamaian Perserikatan Bangsa-Bangsa.
Setelah itu, Prabowo mengusulkan agar PBB menggelar referendum untuk menentukan warga di zona demiliterisasi itu ingin bergabung dengan Ukraina atau Rusia.
“PBB kemudian menggelar referendum kepada masyarakat yang tinggal di wilayah demiliterisasi,” ucap Prabowo.
Menurut Prabowo, PBB harus menggelar referendum guna memastikan secara objektif keinginan mayoritas penduduk di wilayah yang disengketakan.
“Saya mengusulkan agar dialog Shangri-La menemukan modus deklarasi sukarela yang mendesak Ukraina dan Rusia untuk segera memulai negosiasi perdamaian,” kata Prabowo, sebagaimana dilansir Reuters.
Sejak perang berkecamuk, Rusia sebenarnya sudah beberapa kali menggelar referendum di empat wilayah yang hendak mereka caplok. Meski diduga banyak kecurangan, hasil referendum menunjukkan keempat wilayah itu ingin bergabung dengan Rusia.
Negeri Beruang Merah pun mencaplok sepihak keempat wilayah itu, walau Ukraina masih menguasai sejumlah titik di daerah-daerah tersebut.
Referendum semacam ini bukan lagi hal asing dalam perseteruan kedua negara. Pada 2014, Rusia juga mencaplok Crimea setelah kawasan itu menggelar referendum. Pencaplokan itu tak pernah diakui masyarakat internasional.
Berkaca pada sejarah tersebut, Ukraina dan sejumlah pihak lain mengecam usulan Prabowo. Kepala kebijakan luar negeri Uni Eropa, Joseph Borrell, bahkan menyampaikan langsung kritiknya di Shangri-La Dialogue.
“Kita harus membawa perdamaian ke Ukraina,” ucap Borrell.
Namun, katanya, perdamaian itu harus “perdamaian yang adil, bukan sebuah perdamaian karena menyerah.”
Sementara itu, dosen Universitas Paramadina, Anton Aliabbas, menyebut ide resolusi damai dari konflik Rusia dan Ukraina yang dicetuskan Menteri Pertahanan RI Prabowo Subianto sudah tepat. Proposal Prabowo, kata dia, merupakan langkah maju guna mengakhiri konflik kekerasan meski Ukraina menolaknya.
“Tawaran ide yang diungkapkan Prabowo merupakan hal konkret. Itu merupakan langkah maju dalam diplomasi Indonesia,” kata Anton dalam keterangan tertulisnya, Senin (5/6), sebagaimana diberitakan Detik.
Menurutnya, pernyataan Prabowo terkait ide perdamaian yang disampaikan dalam forum International Institute for Strategic Studies (IISS) Shangri-La Dialogue 2023 di Singapura tidaklah berlebihan. Proposal yang digagas Prabowo, kata dia, sudah jelas dan dapat diukur dengan mudah.
“Gagasan Prabowo soal zona demiliterisasi, keterlibatan PBB dan referendum bukan hal yang mengawang-awang tapi jelas dan terukur,” kata Anton.
Pengamat pertahanan dan keamanan Universitas Paramadina itu juga menilai adanya proposal tersebut dapat mengindikasikan Indonesia sudah siap untuk menjadi mediator konflik. Dan pilihan yang diinginkan Indonesia, ujarnya, adalah mediator yang ikut aktif mendorong tawaran agenda perundingan.
“Jika tidak ada gencatan senjata tentu saja perundingan akan sulit berjalan. Dan keinginan melibatkan PBB juga menunjukkan keinginan Indonesia untuk memperkuat posisi PBB dalam konflik ini. Sebab, beberapa pandangan ada yang menyebutkan PBB seakan tidak berdaya dalam menghadapi Rusia. Dan kali ini, dalam menjaga perdamaian, PBB ingin ditempatkan dalam posisi yang cukup sentral,” sambungnya.
Menurut Anton penolakan yang dilakukan Ukraina melalui Juru Bicara Kementerian Luar Negeri Ukraina, Oleg Nikolenko, terkait ide referendum merupakan hal biasa. Ia justru menilai respons tersebut mengindikasikan Ukraina menunggu ide tawaran agenda konkret dalam perundingan.
“Yang namanya konflik pasti menunjukkan adanya sengketa ataupun perbedaan. Dan jika ingin mewujudkan perdamaian ya semua perbedaan harus diselesaikan termasuk soal narasi ketidakpuasan ini. Perundingan kelak juga tentu harus mencari alternatif terbaik untuk mengakhiri perbedaan klaim narasi ketidakpuasan publik versus nihil sengketa wilayah,” urai Anton.
“Pesimistis Rusia akan berubah jelas memperlihatkan Ukraina masih belum percaya bahwa pemerintah Putin mau untuk mencari solusi perdamaian. Mau tidak mau proses membangun saling percaya harus terus digalakkan karena mustahil perundingan berujung kesepakatan jika tidak ada trust. Dan proses ini memang membutuhkan waktu, karena kita tidak hanya berbicara soal eksternal tapi juga domestik masing-masing negara,” ujar Anton.
Meski demikian, kata Anton, proposal perdamaian yang disampaikan Prabowo patut mendapat apresiasi sebab gagasan tersebut memperkaya upaya perdamaian Ukraina-Rusia. Terlebih, katanya, dalam perdamaian sering kali muncul pihak yang tidak puas ataupun tidak menerima kesepakatan.
“Namanya gagasan perdamaian terkadang sifatnya trial dan error serta menimbulkan pro kontra. Tapi tidak ada yang salah dengan itu karena sebanyak apapun gagasan perdamaian, mereka tidak akan menimbulkan korban jiwa. Dan gagasan perdamaian memang harus selalu di-exercise,” imbuhnya.