Jakarta, Purna Warta – Partai NasDem mengusulkan adanya kombinasi dalam sistem pemilu, yaitu perpaduan antara sistem pemilu terbuka dan tertutup. Usulan ini disampaikan oleh anggota Steering Committee (SC) Kongres III NasDem, Martin Manurung, dalam konferensi pers yang diadakan di JCC, Jakarta Pusat, Selasa (27/8/2024).
“Partai NasDem menawarkan gagasan sistem pemilu yang mengombinasikan sistem proporsional terbuka dengan sistem tertutup, yaitu terdapat kuota kursi yang dikontestasikan dan yang tidak dikontestasikan secara terbuka,” ujar Martin.
Baca juga: PDIP Konfirmasi Tak Pernah Tawari Anies Jadi Kader
Usulan ini merupakan hasil dari Kongres III Partai NasDem, di mana Martin menyarankan agar alokasi kursi DPR RI dibagi dengan komposisi 70 persen untuk sistem pemilu terbuka dan 30 persen untuk sistem pemilu tertutup.
“Secara teknis, sistem ini diimplementasikan dengan membagi jumlah kursi di DPR RI menjadi dua kuota, yaitu 70 persen kursi diisi melalui sistem proporsional terbuka, dan 30 persen kursi diisi berdasarkan daftar nama yang telah disusun oleh partai politik (party-list),” jelas Martin.
Lebih lanjut, ia menjelaskan bahwa alokasi 30 persen kursi tersebut akan diberikan secara proporsional berdasarkan perolehan suara sah setiap partai politik dalam pemilu dengan sistem proporsional terbuka.
Menurut Martin, langkah ini tidak hanya memberikan ruang bagi kader partai, tetapi juga memungkinkan partai politik untuk mengisi daftar partai (party-list) dengan beragam elemen masyarakat, seperti akademisi, tokoh masyarakat, tokoh agama, dan perwakilan kelompok marjinal yang memiliki peluang kecil untuk terpilih dalam kontestasi pemilu terbuka.
“Dengan demikian, kuota 30 persen ini bertujuan untuk meningkatkan kualitas keterwakilan masyarakat di DPR RI,” ungkapnya.
Martin juga mengingatkan bahwa Indonesia telah menjalani enam kali pemilu dengan berbagai variasi sistem proporsional. Namun, ia menilai sistem pemilu terbuka memberikan terlalu banyak ruang bagi persaingan individu antar kandidat, yang berpotensi memecah belah partai.
“Sistem ini juga tidak mendukung terbentuknya Party ID yang kuat. Selain itu, sistem terbuka cenderung membuka ruang bagi praktik politik uang yang masif dalam meraih suara rakyat, sehingga kandidat berkualitas yang tidak memiliki sumber daya politik yang kuat sering kali tersingkir,” jelas Martin.