STAI Sadra Jakarta Gelar Peringatan 40 Hari Syahidnya Cucu Nabi

STAI Sadra Jakarta Gelar Peringatan 40 Hari Syahidnya Cucu Nabi

Jakarta, Purna Warta Sekolah Tinggi Agama Islam (STAI) Sadra Jakarta menggelar Studium General dengan tema “Orientasi dan Kontekstualisasi  Arbain dalam Tridharma Perguruan Tinggi” pada Jumat, (8/9). Acara yang dilaksanakan di di Aula Al Mustafa STAI Sadra Jakarta tersebut digelar dalam rangka memperingati empat puluh hari pasca kesyahidan Imam Husain atau yang dikenal dengan peringatan Hari Arbain.

Baca Juga : Matinya “Koalisi Oposisi Suriah”

Acara yang dibuka pukul 13.30 WIB tersebut, diikuti para mahasiswa, dosen dan karyawan serta menampilkan syair-syair dan narasi duka yang menambah suasana acara berlangsung khidmat

Dalam sambutannya, Wakil III Bidang Kemahasiswaan Dr. Hasyim Adnan mengatakan bahwa peringatan empat puluh hari setelah orang meninggal merupakan budaya yang tidak asing lagi dalam masyarakat Indonesia. Angka 40 merupakan angka penuh misteri yang  juga disebutkan di dalam Al-Qur’an di antaranya berkaitan dengan Nabi Musa as yang mendapat kitab Taurat setelah menyempurnakan 40 hari. Usia 40 tahun juga identik dengan kematangan dan kedewasaan berpikir seseorang. Dalam hadis disebutkan bahwa barang siapa yang mengikhlaskan dirinya atau mensucikan dirinya selama empat puluh hari maka Allah akan memberikan hikmah dalam hatinya yang mengalir dari lisannya. Sehingga tolok ukur amalan tersebut dilakukan selama empat puluh hari.

“Dikatakan bahwa 20 Safar merupakan 40 hari pasca kesyahidan Imam Husain as dimana pada hari itu pula jasad-jasad yang terpisah disatukan dan Jabir bin Abdillah al Anshari merupakan sahabat pertama yang menziarahi makam Imam Husein di hari ke empat puluh,” ujarnya.

Pada kesempatan ini, sebagai pembicara, Ammar Fauzi, Ph.D menjelaskan peristiwa sejarah yang menggambarkan kisah Bani Israil pada masa Nabi Dawud as yang diabadikan dalam Al-Qur’an dan peristiwa Karbala yaitu sejarah perjuangan suci Imam Husain dalam menegakkan Islam. Talut bersama pasukannya yang sedikit itu harus berperang melawan Jalut dengan kekuatannya yang sangat besar. Dengan segelintir pasukan itu pula mereka gagal dalam menerima cobaan ketika melewati sungai. Banyak dari pasukan Talut yang meminum air sungai yang sejak awal sudah diperingatkan Talut agar tidak meminumnya. Lalu timbul keputusasaan dalam diri pasukan Talut yang sudah berkurang itu, mereka merasa tidak akan menang dengan jumlah sedikit tersebut.

Baca Juga : Pelarangan Jilbab; Bentuk Islamophobia Akut Eropa

Begitu juga halnya dengan Imam Husain yang mengajak bergabung para kabilah untuk ikut berperang bersamanya tetapi kebanyakan mereka menolak dan sedikit yang menerimanya. Bahkan dari sedikitnya orang-orang yang bergabung melemahkan semangat pada rombongan beliau termasuk pada keluarganya. Sehingga muncul pertanyaan dari keluarga beliau sendiri apakah mereka di pihak kebenaran. Kemudian Imam Husain bertanya tentang kematian kepada keponakannya, Qasim yang kala itu berusia 15 tahun. Sungguh jawaban Qasim sangat mengejutkan, “ Kematian bagiku lebih manis dari madu,” ucapnya. Bagi mereka yang mempunyai iman yang kuat, bertawakal dan patuh pada pemimpin jumlah sedikit tidak menjadikan halangan untuk berjuang. Di dalam Al-Qur’an disebutkan bahwa betapa banyak kelompok yang sedikit mengalahkan kelompok yang besar dengan ijin Allah.

Dalam perang, Imam Husain tidak hanya mengajarkan untuk menjatuhkan musuh saja tapi juga mengajarkan bagaimana menjaga salat dan tetap membaca  Al-Qur’an. Terbukti di malam terakhir beliau meminta waktu kepada musuh untuk melakukan salat dan membaca Al-Qur’an. Bahkan beliau mempersilahkan para sahabatnya untuk pergi meninggalkannya dengan memanfaatkan kegelapan malam. Sebab musuh hanya menginginkan nyawanya bukan nyawa orang lain. Lebih dari itu beliau sendiri yang akan menjamin keselamatan orang-orang yang mau meninggalkannya kelak di hadapan Rasulullah saw. Tapi mereka tetap setia bersama Imam Husain. Para mahasiswa hendaknya mempelajari hikmah perjuangan Imam Husein dan meneladani keimanan, keberanian, ketakwaan, kepatuhan dan kesetiaan pasukan Imam Husain dalam berjuang untuk menegakkan Islam dengan berperang melawan panguasa zalim Yazid bin Muawiyah. Sebab peristiwa tersebut kurang mendapat perhatian kaum muslimin pada umumnya. Terbukti hanya sedikit kaum muslimin yang memperingati kesyahidan Imam Husain.

“Hendaknya kalian memaksimalkan potensi dan waktu dengan banyak bertanya dan meneliti bidang-bidang yang ditekuni. Kalian dapat memanfaatkan keberadaan para dosen dengan berkonsultasi dan meminta bimbingan kepada mereka. Kalian hendaknya membaca Al-Qur’an, mengkaji tafsir dan menghafalnya karena Al-Qur’an adalah sumber pengetahuan dan keberkahan,” pesannya.

Baca Juga : Menaklukkan Masa Lalu: Melihat Arsitektur Berbenteng Iran kuno

Acara ini juga diselingi drama pementasan detik-detik kesyahidan Imam Husain dan kisah pilu keluarganya yang menjadi tawanan musuh. Pementasan drama yang berkualitas, mengingatkan memori para hadirin tentang sejarah pengorbanan Imam Husain beserta para sahabat dan keluarganya. Begitu pula peran dan ketangguhan Sayyidah Zainab sebagai saksi sejarah perjuangan melawan pengusa zalim Yazid bin Muawiyah. Akibatnya, suasana penuh kedukaan menyelimuti Aula Al Mustafa dan tangis para hadirin pun tak terbendung.

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *