Purna Warta – Ketua MPR RI Bambang Soesatyo (Bamsoet) mengatakan tumbuhnya radikalisme tidak hanya dipicu faktor internal. Menurutnya, dinamika zaman yang terjadi di lingkungan global pun turut memberi warna dan mendorong munculnya radikalisme di dalam negeri.
Salah satu yang menjadi perhatian berbagai negara di dunia saat ini adalah keberhasilan Taliban merebut kekuasaan di Afghanistan. Sebab ada kekhawatiran dari berbagai pihak, bahwa kemenangan Talibn akan mempengaruhi kondusivitas politik di Tanah Air.
“Sehingga tidak ada salahnya mengedepankan sikap kewaspadaan. Namun juga penting untuk kita ingat Bersama bahwa alat pertahanan terbaik dalam menangkal radikalisme bukanlah semata mengandalkan tindakan represif, melainkan dengan penguatan benteng ideologi,” ujar Bamsoet dalam keterangannya, Senin (6/9/2021).
Dalam ‘Webinar Vaksinasi Ideologi’ yang diselenggarakan Lembaga Pemilih Indonesia dan Forum Intelektual Muda, Bamsoet memaparkan bahwa Direktur Jenderal Asia Pasifik dan Afrika Kementerian Luar Negeri (Kemenlu) Abdul Kadir Jailani menyebut belum ada informasi soal keterkaitan Taliban di Afghanistan dengan jaringan teroris di Indonesia. Meski demikian, mengutip Abdul, jaringan-jaringan teroris di Indonesia biasanya memiliki hubungan dengan Al-Qaeda atau ISIS.
Ketua DPR RI ke-20 ini menjelaskan bangsa Indonesia tidak boleh mengabaikan fakta bahwa radikalisme tidak semata-mata terpapar melalui proses indoktrinasi yang dilakukan secara langsung atau melalui pendekatan dan metodologi konvensional lainnya. Perkembangan teknologi informasi, kata dia, memungkinkan paparan radikalisme dapat dijangkau dan diakses hanya dalam batas sentuhan jari di layar ponsel.
“Inilah yang memungkinkan, misalnya, remaja wanita di Inggris atau Australia, dapat dengan mudahnya bergabung dengan ISIS di Irak. Era disrupsi yang menghantarkan fenomena ‘the internet of things’ menjadikan ancaman paparan radikalisme terasa begitu dekat, di mana jarak dan waktu tidak lagi menjadi hambatan dan kendala,” jelas Bamsoet.
Wakil Ketua Umum Partai Golkar ini mengingatkan di tengah kerja keras mengatasi pandemi COVID-19, semua pihak tidak boleh melupakan bahwa pandemi menempatkan Indonesia pada posisi rawan. Data Badan Pusat Statistik (BPS) mencatat, per Maret 2021 jumlah penduduk miskin di Indonesia mencapai 27,54 juta atau meningkat 1,12 juta dari Maret 2020.
Ia menegaskan dengan pandemi yang masih membayangi, angka itu masih mungkin berpotensi mengalami kenaikan, mengingat angka pengangguran hingga 2021 diprediksi mencapai 12,7 juta.
“Tekanan dan beban kehidupan yang dirasakan semakin sulit dan berat, terutama di saat pandemi saat ini, berpotensi mendorong tumbuh suburnya radikalisme sebagai solusi instan dan pelarian dari berbagai himpitan persoalan,” ujarnya.
“Di samping itu, fakta sosiologis bahwa kita ditakdirkan menjadi sebuah bangsa dengan tingkat heterogenitas yang tinggi menjadikan kita berada dalam posisi rentan dari ancaman potensi konflik,” lanjutnya.
Kepala Badan Bela Negara FKPPI ini menerangkan berdasarkan Survei Nasional Badan Nasional Penanggulangan Terorisme (BNPT), tercatat sepanjang 2020, terjadi penurunan angka penyebaran paham radikalisme secara signifikan. Pada 2017 berada di kisaran 50% dan mengalami penurunan menjadi 14% lebih pada 2020.
Namun dari aspek kualitas atau tingkat kenekatan, kata dia, manifestasi dari paham radikalisme justru lebih mengkhawatirkan. Ia mencontohkan hal ini ditandai dengan adanya aksi bom bunuh diri yang melibatkan, atau mengorbankan, wanita dan anak-anak.
“Survei nasional Pusat Pengkajian Islam dan Masyarakat (PPIM) UIN Syarif Hidayatullah tahun 2018 mengindikasikan 63,07 persen guru memiliki opini intoleran pada pemeluk agama lain,” ujarnya.
“Selanjutnya tahun 2019, penelitian kualitatif SETARA Institute di 10 kampus perguruan tinggi negeri, menemukan terdapat wacana dan gerakan keagamaan di perguruan tinggi negeri yang berpotensi mengancam negara Pancasila,” terangnya.
Wakil Ketua Umum Pemuda Pancasila ini menambahkan dari survei Wahid Institute pada 2020, sikap intoleran dan paham radikalisme mempunyai kecenderungan meningkat dari 46% menjadi 54%.
Sementara itu, kata dia, Badan Pembinaan Ideologi Pancasila mensinyalir ASN yang pro radikalisme, atau bersikap anti terhadap Pancasila mencapai lebih dari 10%. Bahkan, menurut Bamsoet, TNI dan POLRI juga menjadi lahan untuk mentransmisikan paham radikalisme, yakni tidak kurang dari 4% anggota terindikasi terpapar dengan paham radikalisme.
“Karenanya, MPR gencar melaksanakan vaksinasi ideologi berupa Sosialisasi Empat Pilar MPR ke berbagai kalangan masyarakat guna memperkuat imun ideologi setiap anak bangsa dalam menghadapi berbagai gempuran ideologi yang tidak sejalan dengan jati diri bangsa Indonesia. Mengingat secara geografis kita adalah negara kepulauan yang terpisah oleh lautan,” ujarnya.
“Secara sosio-kultural, bangsa kita terdiri dari beragam suku, budaya, adat istiadat, agama, dan kepercayaan. Ditambah lagi dengan potensi kekayaan sumber daya alam kita yang berlimpah, dan posisi geografis kita yang strategis dalam lalu lintas kemaritiman, telah menempatkan kita sebagai magnet bagi berbagai kepentingan global,” pungkas Bamsoet.
Sebagai informasi, Bamsoet mengikuti ‘Webinar Vaksinasi Ideologi’ yang diselenggarakan Lembaga Pemilih Indonesia dan Forum Intelektual Muda pada hari ini. Dalam webinar itu turut hadir antara lain Deputi Komunikasi Badan Intelijen Negara Wawan Hari Purwanto, Ahli Politik dari Lembaga Pemilih Indonesia Boni Hargens, Ahli Keamanan dan Hubungan Internasional Kusnanto Anggoro, Pengamat Terorisme, Milda Istiqamah, dan Co-Founder Forum Intelektual Muda Muhammad Sutisna.