Jakarta, Purna Warta – Hasil kajian dari Pusat Penelitian Kebijakan Ekonomi Fakultas Ekonomi Bisnis Universitas Brawijaya (PPKE-FEB UB) mengungkapkan bahwa kebijakan kenaikan tarif cukai hasil tembakau tidak efektif dalam menjaga keseimbangan kebijakan industri hasil tembakau (IHT).
Kajian tersebut menunjukkan adanya pola pergeseran konsumsi, di mana konsumen beralih ke rokok dengan harga lebih murah saat tarif cukai naik. Hal ini mematahkan argumentasi bahwa kenaikan tarif cukai efektif sebagai instrumen untuk mendorong seseorang berhenti merokok.
“Kajian yang telah dilakukan oleh tim peneliti PPKE lagi-lagi dapat memberikan insight serta dampak yang luas dalam menambah pandangan masyarakat terkait dampak kenaikan tarif cukai yang terjadi selama ini,” kata Peneliti senior PPKE-FEB UB, Joko Budi Santoso, Kamis (26/12/2024).
Menurut Joko, kenaikan tarif cukai rokok menimbulkan efek substitusi, di mana konsumen yang sensitif terhadap harga lebih memilih rokok golongan 2 atau 3 yang lebih murah dibanding rokok golongan 1 yang mahal.
“Bahwa kebijakan kenaikan tarif cukai tidak efektif dalam menurunkan konsumsi rokok secara keseluruhan, karena hanya terjadi pergeseran konsumsi dari produk mahal ke produk yang lebih murah,” tegasnya.
Kajian tersebut menunjukkan bahwa konsumsi total rokok tetap stabil pada 32,5% meskipun tarif cukai naik hingga 25%. Hal ini menunjukkan bahwa kenaikan tarif cukai tidak berdampak signifikan pada penurunan konsumsi rokok secara keseluruhan.
Hasil kajian juga mencatat beberapa dampak negatif dari kebijakan kenaikan tarif cukai:
1. Peningkatan Peredaran Rokok Ilegal
Ketika harga rokok legal meningkat, konsumen beralih ke produk ilegal yang tidak dikenakan cukai.
2. Penurunan Produksi Rokok Legal
Produksi rokok legal mengalami penurunan, yang berdampak pada berkurangnya jumlah pabrik dan tenaga kerja.
3. Penyusutan Basis Penerimaan Negara
Pendapatan negara dari cukai tembakau menurun akibat pergeseran konsumsi dan peningkatan produk ilegal.
Untuk mencapai tujuan pengendalian konsumsi dan optimalisasi penerimaan negara, Joko mengusulkan kebijakan yang lebih komprehensif, seperti:
– Penguatan pengawasan terhadap peredaran rokok ilegal.
– Strategi harga yang seimbang antar golongan rokok untuk mengurangi efek substitusi.
– Edukasi kesehatan untuk menekan permintaan rokok secara bertahap.
“Dengan pendekatan ini, kebijakan fiskal dapat lebih efektif dalam mengendalikan konsumsi rokok sekaligus meminimalkan dampak negatif terhadap industri dan pendapatan negara,” kata Joko Budi.
Menurutnya, kebijakan yang mendukung keberlanjutan industri rokok kecil, penanggulangan rokok ilegal, serta pendekatan berbasis data untuk pengendalian konsumsi menjadi penting untuk keseimbangan ekonomi nasional. Evaluasi berkelanjutan dan integrasi lintas sektor diperlukan untuk memastikan kebijakan yang lebih efektif dan inklusif.