RI Buka Keran Ekspor Pasir Laut, Asosiasi Nelayan Peringatkan Kerusakan Lingkungan 

Jakarta, Purna Warta –  Kebijakan pemerintah membuka ekspor pasir laut memicu pro dan kontra di masyarakat, termasuk di kalangan nelayan dan masyarakat pesisir.

Baca juga: Bahlil Kasih Kode Pembatasan BBM Subsidi 1 Oktober Batal

Kebijakan ini diambil setelah adanya revisi Permendag Nomor 20 Tahun 2024 tentang Perubahan Kedua atas Peraturan Menteri Perdagangan Nomor 22 Tahun 2023 mengenai Barang yang Dilarang untuk Diekspor, serta Permendag Nomor 21 Tahun 2024 tentang Perubahan Kedua atas Peraturan Menteri Perdagangan Nomor 23 Tahun 2023 tentang Kebijakan dan Pengaturan Ekspor.

Ketua Umum Kesatuan Nelayan Tradisional Indonesia (KNTI), Dani Setiawan, menyatakan bahwa secara ilmiah, pembersihan sedimentasi di laut memang diperlukan, terutama di jalur pelayaran atau muara yang mengalami pendangkalan. Menurutnya, tindakan ini perlu dilakukan meskipun hasil sedimentasi tidak diekspor. Namun, ia mengkritik langkah pemerintah yang membuka peluang komersialisasi sumber daya laut.

“Negara tidak seharusnya berbisnis dalam hal yang berkaitan dengan kepentingan publik dan kebutuhan hidup orang banyak. Meski begitu, ada batasan-batasan yang perlu diperhatikan,” kata Dani, Jumat (20/9/2024).

Ia menekankan bahwa lokasi pembersihan sedimentasi tidak boleh merusak area penangkapan ikan (fishing ground) bagi nelayan kecil dan tradisional, terutama di kawasan yang mendukung perlindungan pantai dan pulau-pulau kecil.

“Area-area ini sangat sensitif dan perlu dilindungi, tidak bisa sembarangan dikeruk. Masalahnya, rencana zonasi dan tata ruang laut belum sepenuhnya mengakomodasi fishing ground nelayan tradisional, sehingga sangat rentan dialihkan untuk kepentingan lain, termasuk penambangan pasir laut,” jelasnya.

Dani juga mengingatkan bahwa pembersihan sedimentasi harus benar-benar ditujukan untuk meningkatkan keamanan pelayaran dan mengatasi pendangkalan di muara sungai. Kebijakan ini, menurutnya, seharusnya membantu nelayan kecil dalam mencari ikan dan menjaga keselamatan mereka.

Selain itu, pemanfaatan hasil sedimentasi harus didasari kajian oseanografi dan lingkungan yang ketat, tanpa membuka peluang komersialisasi ruang laut atau eksploitasi sumber daya laut yang tidak berkelanjutan, termasuk ekspor pasir laut ke negara lain yang dapat memicu persoalan geopolitik baru.

Dani menambahkan bahwa pengalaman sebelumnya menunjukkan dampak negatif penambangan pasir laut terhadap nelayan kecil, seperti pencemaran lingkungan, rusaknya terumbu karang dan lamun, serta ikan yang menjauh dari wilayah tangkapan nelayan.

“Akibatnya, nelayan harus melaut lebih jauh, yang meningkatkan biaya dan risiko kecelakaan. Pengamatan anggota KNTI di Kepulauan Riau, khususnya di Kabupaten Karimun yang menjadi salah satu lokasi pengerukan, mengungkapkan kekhawatiran bahwa dampaknya akan sangat besar, termasuk potensi bencana lingkungan seperti tenggelamnya pulau,” jelasnya.

Baca juga: Erick Thohir: Naturalisasi Bukan Program Jangka Pendek

Sementara itu, Sekretaris Jenderal Koalisi Rakyat untuk Keadilan Perikanan (Kiara), Susan Herawati, menyebut kebijakan ini sangat mengganggu nelayan. Menurutnya, banyak kelompok nelayan dan masyarakat adat pesisir yang menolak kebijakan ini.

“Banyak sekali nelayan dan masyarakat adat di pesisir yang sangat menolak kebijakan ini,” ujar Susan.

Ia mengakui bahwa pengelolaan sedimentasi laut memang diperlukan, namun menurutnya kebijakan ini menyimpang dari tujuan awal dan lebih mengarah pada liberalisasi sumber daya pesisir dan pulau-pulau kecil, yang dapat merusak ekosistem dan mengancam keberlanjutan nelayan.

“Kebijakan ini lebih cenderung pada liberalisasi sumber daya di pesisir dan pulau-pulau kecil, yang dampaknya merusak ekosistem. Jika ekosistem rusak, nelayan tidak lagi bisa melaut dan ini sangat mengkhawatirkan,” pungkasnya.

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *