Jakarta, Purna Warta – Pemerintah berencana menaikkan tarif Pajak Pertambahan Nilai (PPN) dari 11% menjadi 12%. Langkah ini memicu kekhawatiran, mulai dari meningkatnya inflasi hingga potensi Pemutusan Hubungan Kerja (PHK). Ekonom menilai kebijakan tersebut akan semakin membebani masyarakat.
Direktur Eksekutif CELIOS, Bhima Yudhistira Adhinegara, mengungkapkan kenaikan PPN dapat menurunkan daya beli masyarakat. Dampaknya, penjualan produk sekunder seperti elektronik, kendaraan bermotor, hingga kosmetik akan melambat. Menurut Bhima, golongan kelas menengah—yang menyumbang 35% dari konsumsi rumah tangga nasional—akan terkena imbas paling besar.
“Selain daya beli masyarakat, pelaku usaha juga akan terdampak. Penyesuaian harga akibat naiknya tarif PPN bisa mengurangi omzet. Pada akhirnya, ini bisa memaksa pelaku usaha mengurangi kapasitas produksi, yang berujung pada penurunan jumlah tenaga kerja. Ada risiko PHK di berbagai sektor,” jelas Bhima kepada detikcom.
Bhima menyarankan agar pemerintah mempertimbangkan kembali rencana tersebut karena bisa mengancam pertumbuhan ekonomi, yang sebagian besar disumbang oleh konsumsi rumah tangga. Ia menyarankan agar kenaikan PPN dibatalkan, misalnya melalui penerbitan Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang (Perppu).
“Tarif PPN idealnya bisa diturunkan ke 8-9% untuk merangsang konsumsi domestik. Dengan begitu, permintaan meningkat, omzet usaha naik, dan penerimaan pajak dari sektor lain, seperti PPh, bisa ikut terdongkrak,” tambah Bhima.
Jika PPN tetap dinaikkan menjadi 12%, Bhima memperkirakan inflasi pada 2025 akan melonjak menjadi 4,5-5,2% secara tahunan. Hal ini tentu akan memberatkan masyarakat, terutama dalam membeli kebutuhan pokok.
Ketua Kamar Dagang dan Industri (Kadin) DKI Jakarta, Diana Dewi, juga menilai kenaikan PPN akan membebani pengusaha dan konsumen. Harga barang dan jasa akan ikut naik, sehingga daya beli masyarakat menurun.
“Kenaikan PPN sebaiknya ditunda hingga kondisi ekonomi benar-benar stabil. Pemerintah harus fokus meningkatkan daya beli, agar kelas menengah tidak terjebak dalam middle income trap yang bisa membuat mereka tergelincir menjadi golongan berpenghasilan rendah,” kata Diana.
Diana juga mengkritik kenaikan PPN dari 10% menjadi 11% pada 2022, yang menurutnya sudah melemahkan daya beli. Ia menilai tarif ideal adalah 10%, agar perekonomian kembali bergairah.
“Jika PPN dikembalikan ke 10%, roda ekonomi bisa bergerak lebih cepat, dan daya beli masyarakat akan meningkat,” tegas Diana.
Selain itu, Diana mengingatkan agar kenaikan tarif pajak tidak membuka peluang terjadinya korupsi besar seperti skandal 1MDB di Malaysia, yang melibatkan miliaran dolar. Menurutnya, pemerintah perlu memastikan kebijakan ini bebas dari potensi korupsi.
“Dengan penerimaan negara yang lebih tinggi, Pemerintahan Pak Prabowo diharapkan mampu menutup celah korupsi. Jika korupsi dibiarkan, sulit bagi negara untuk maju,” pungkas Diana.