Jakarta, Purna Warta – Menteri Koordinator Bidang Perekonomian, Airlangga Hartarto, menyatakan bahwa sistem pembayaran Quick Response Code Indonesian Standard (QRIS) kini menjadi perhatian serius bagi berbagai negara lain. Hal ini disebabkan oleh jumlah pengguna QRIS yang telah meningkat jauh melampaui jumlah penggunaan kartu kredit di dalam negeri.
“QRIS ini sudah 56 juta penggunaannya, dibandingkan credit card 17 juta, QRIS sudah sekitar 56 juta. Makanya ditakutilah,” kata Airlangga di Hutan Kota by Plataran, Jakarta Pusat, Selasa (4/11/2025).
Airlangga menjelaskan bahwa pertumbuhan QRIS yang pesat merupakan hasil dari dorongan pemerintah dalam memperluas digitalisasi sistem pembayaran nasional. Saat ini, sistem pembayaran tersebut telah tersedia dan digunakan di lima negara Asia.
“Juga di dorong negara UAE dan berbagai negara lain, dan ini yang dikhawatirkan oleh berbagai negara lain,” katanya.
Airlangga menambahkan, sistem pembayaran QRIS juga telah memenuhi standar internasional. Hal ini dibuktikan karena sistem tersebut telah dapat digunakan di berbagai negara.
“Ditanya apakah QRIS menggunakan standar internasional? Jawabannya ya karena ini bsia digunakan diberbagai negara,” katanya.
Sebelumnya, Pemerintah Amerika Serikat (AS) melalui laporan mereka juga menyoroti implementasi sejumlah kebijakan yang dikeluarkan oleh Otoritas Jasa Keuangan (OJK) dan Bank Indonesia (BI) yang dianggap menghambat perdagangannya. Beberapa kebijakan yang disorot mencakup penggunaan sistem pembayaran seperti QRIS hingga pembatasan ekuitas asing dalam layanan jasa pembayaran.
Isu ini dimuat dalam laporan National Trade Estimate (NTE) Report on Foreign Trade Barriers yang dirilis oleh United State Trade Representative (USTR) pada akhir Maret 2025. Laporan tersebut mencantumkan daftar hambatan perdagangan dari 59 negara mitra dagang AS, termasuk Indonesia. Laporan ini dirilis beberapa hari sebelum Presiden AS Donald Trump mengumumkan kebijakan tarif impor resiprokal.
Terkait Indonesia, USTR secara spesifik menyinggung Peraturan Anggota Dewan Gubernur (PADG) Nomor 21/18/PADG/2019 tentang Implementasi Standar Nasional Quick Response Code untuk Pembayaran. Aturan ini menimbulkan kekhawatiran di kalangan perusahaan-perusahaan asal AS.
“Perusahaan-perusahaan AS, termasuk penyedia pembayaran dan bank, khawatir selama proses pembuatan kebijakan kode QR BI, para pemangku kepentingan internasional tidak diberi tahu tentang perubahan yang mungkin terjadi atau diberi kesempatan untuk menjelaskan pandangan mereka mengenai sistem tersebut, termasuk bagaimana sistem tersebut dapat dirancang untuk berinteraksi secara lancar dengan sistem pembayaran yang ada,” tulis USTR dikutip dari dokumen tersebut, Sabtu (19/4/2025).


