Penjelasan Kemendikbudristek Soal Nasib Kurikulum Merdeka di Tahun 2024

Jakarta, Purna Warta – Kurikulum pengganti Kurikulum 2013 (K-13) yaitu Kurikulum Merdeka akan diresmikan pada 2024. Kurikulum pengganti ini memungkinkan guru berkreasi dan berinovasi untuk pembelajaran yang sesuai dengan kebutuhan para siswa.

Kepala Badan Standar, Kurikulum, dan Asesmen Pendidikan, Anindito Aditomo, PhD, mengatakan Kurikulum Merdeka lebih fleksibel untuk diterapkan sesuai kondisi masing-masing daerah.

“Wajar belum terbiasa, dan perlu waktu untuk membiasakan. Tapi kalau tidak dimulai, tidak mulai memberi kepercayaan kepada guru dan sekolah, ya tidak akan kemana-mana pendidikan kita. Karena kuncinya ada pada guru dan kepala sekolah, kalau mereka selamanya diposisikan sebagai birokrat, sistem pendidikan kita tidak akan bisa maju, ini fundamental sekali,” kata Nino di Forum Media BSKAP di Jakarta, Rabu (25/10/2023).

Nino mengatakan, Kurikulum Merdeka dirancang agar tidak mudah tergantikan kendati jelang Pemilu 2024.

Kebijakan dan perubahan yang sistemiknya dilandaskan pada regulasi yang saling tarik-menarik dan berpotensi didukung publik yang sudah merasakan bahwa sekolah bisa menyenangkan dengan Kurikulum Merdeka, baik dari kalangan anak, orang tua, guru, dan sekolah.

Ia mencontohkan, regulasi dan aturan-aturan turunan Merdeka Belajar memungkinkan hak mahasiswa belajar lintas prodi di luar kampus tanpa nama program Merdeka Belajar Kampus Merdeka, Kampus Mengajar, hingga IISMA tetap berlaku.

Sementara di jenjang sekolah, contohnya, asesmen diagnostik oleh guru di sekolah memungkinkan identifikasi siswa yang belum bisa membaca dan pemberian intervensi yang tepat.

“Lalu program buku bacaan bermutu misalnya, itu program sangat mudah digantikan, tahun depan ‘yaudah gak usah cetak buku lagi.’ Tapi kebijakan kurikulum dan pembelajaran yang lebih fleksibel, yang lebih kontekstual, itu tidak mudah digantikan, karena dia bukan program, dia landasan regulasinya banyak sekali,” terangnya.

“Ada Peraturan Pemerintah, ada Permendikbud, itu sudah melandasi perubahan-perubahan ini. Dan di situ nggak ada kata-kata Merdeka Belajar, tetapi substansi-substansinya ada,” imbuh Nino.

Nino mengatakan, Kurikulum Merdeka membuat tiap daerah berfokus pada kebutuhan siswa masing-masing sesuai kebutuhan dan kemampuan.

Hilangnya penyeragaman di K-13 memungkinkan guru tidak dikejar kewajiban untuk menyelesaikan materi tiap kelas hingga berfokus pada kemampuan literasi dan numerasi.

“Dengan fondasi yang lebih kuat, nanti mengejar ketertinggalannya akan lebih cepat. Bicara kesenjangan, kesenjangan ini bukan karena kebijakan yang baru, tetapi sudah laman ada. Justru kebijakan baru ini memberi kesempatan pada yang tertinggal untuk memperkuat fondasi sehingga mengejar ketertinggalannya bisa lebih cepat,” ucapnya.

Kurikulum Merdeka, sambung Nino, juga memungkinkan siswa dapat berfokus pada dengan pembelajaran sesuai minat dan kemampuannya sejak sekolah untuk lanjut masuk perguruan tinggi.

Ia mencontohkan, pada Kurikulum Merdeka, siswa yang berminat masuk teknik akan mengambil Fisika dan Matematika secara lebih mendalam di kelas 11 dan tidak lantas wajib membagi perhatian pada Biologi atau Kimia.

Ia mengamini, sebaiknya siswa menjalani penelusuran minat dan bakat sejak SMP atau minimal di kelas 10 SMA.

“Jadi jika di Kurikulum Merdeka, memberi persiapan lebih kuat, lebih mantap untuk kuliah,” kata Nino.

“Kita sudah buatkan tes minat bakat yang sangat murah. Tahun ini bahkan gratis, ada sekian juta murid SMA yang kita beri layanan tes minat bakatnya untuk memilih ke Kurikulum Merdeka,” tambahnya.

Terkait project-based learning di Kurikulum Merdeka, aspek baru ini, menurut Nino perlu dipelajari guru agar dapat menerapkannya dengan baik. Ia menegaskan, hanya ada 1-3 project per tahun di Kurikulum Merdeka.

“Sebagian mungkin masih ada salah paham atau miskonsepsi, kemudian jadi ada banyak sekali kerja kelompok. Padahal di regulasi kita satu tahun itu cuma dua project. Jadi satu semester satu, dua sampai tiga project, sehingga harusnya itu tidak terlalu membebani,” ungkapnya.

Ia menggarisbawahi, project pembelajaran tidak harus mengeluarkan biaya dan diharapkan merespons hal-hal yang dekat dengan sekolah. Dengan begitu, project-based learning tidak melulu harus membuat karya atau produk yang mengeluarkan ongkos.

Nino memberi contoh, project bisa memikirkan cara memilih ketua OSIS yang lebih baik, bagaimana supaya lebih demokratis, bagaimana supaya semua pendapat diperhatikan, bagaimana supaya pendapat yang berbeda itu bisa disatukan, atau dinegosiasikan dengan lebih demokratis.

“Atau project untuk mengelola sampah di sekolah. Gimana caranya membuat kesadaran semua murid, guru, supaya bisa memilah sampah dengan lebih baik, terus menjual sampah yang dipilah itu malah bisa mendapatkan uang nanti. Jadi project itu bukan sesuatu yang melulu perlu uang, bahkan banyak sekali project yang tidak perlu uang,” tegasnya.

Nino menuturkan, pendidikan terkait project-based learning perlu dikomunikasikan lebih lanjut lewat komunitas dan pembelajaran lewat platform Merdeka Mengajar.

Di samping itu, butuh inisiatif pemda dan kepala sekolah untuk merangkul guru merancang project yang berdampak pada sekitar.

“Justru project based learning itu seharusnya begitu, terkait dengan isu-isu di sekitar, di sekitar rumah, sekitar sekolah. Bukan darmawisata, bukan membuat produk yang mahal. Itu boleh, tetapi nggak harus begitu,” pungkasnya.

Penjelasan detail terkait nasib Kurikulum Merdeka di 2024 tersebut diharapkan menjadi jawaban untuk seluruh masyarakat mulai dari yang berada di pusat kota hingga daerah terpencil sekalipun.

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *