Jakarta, Purna Warta – Limbah selalu muncul dari kegiatan dan aktivitas yang dilakukan oleh manusia. Sumaryati, seorang Peneliti Ahli Pusat Riset Iklim dan Atmosfer Badan Riset dan Inovasi Nasional (BRIN), mengungkapkan bahwa tidak ada aktivitas manusia yang tidak menghasilkan limbah.
Dia mengatakan jumlah limbah berupa sampah yang kian banyak tak bisa didegradasi secara alami, maka terjadilah penumpukan. Dia pun menyayangkan pengelolaan sampah sekarang ini belum mendapatkan perhatian serius dari berbagai pihak.
Sumaryati mengatakan berdasarkan riset yang dia lakukan, pengelolaan limbah secara sehat sekarang ini belum memperoleh perhatian dan jadi prioritas atau jadi bagian dari political will. Pada pengelolaan sampah di perkotaan saja, sekarang masih digunakan sistem open dumping.
“Open dumping ini dilakukan karena murah dan mudah. Di mana ada daerah yang berbentuk seperti cekungan lalu jauh dari pemukiman langsung bisa jadi tempat sampah,” terang Sumaryati pada Kolokium Mingguan PRIMA pada Kamis (11/1/2024), dikutip dari rilis laman BRIN.
Sumaryati menyebut secara estetika sistem open dumping menciptakan dampak kumuh bagi lingkungan. Dia menegaskan hal ini mengancam kesehatan lingkungan yang disebabkan oleh limbah dan bau. Selain itu open dumping menyebabkan munculnya berbagai vektor penyakit seperti lalat, nyamuk, tikus, kecoa, dan lainnya.
Sumaryati pun menerangkan proses dekomposisi yang terjadi pada sistem open dumping akan menghasilkan limbah cair yang mencemari air dan tanah. Limbah cair tersebut pun akan jadi polusi udara karena ada penguapan bau ke udara secara terbuka. Hal ini akan semakin parah saat terjadi pembakaran atau kebakaran.
“Sampah ini menghasilkan gas metan. Dalam kondisi kering, ketika ada pemicunya akan sangat mudah terbakar dan menciptakan polusi udara yang luar biasa,” ujarnya.
Sumaryati menuturkan selain karena sifat kebakarannya tak terkendali, kurangnya pasokan oksigen karena material yang terbakar bertumpuk-tumpuk lalu temperaturnya relatif lebih rendah, maka membuat pembakaran jadi tidak sempurna.
“Karena pembakaran tidak sempurna maka CO2 itu hanya sedikit dan yang relatif banyak dihasilkan yaitu dalam bentuk asap. Pada asap yang dihasilkan ini terdapat unsur karbon dan juga beberapa logam berat,” kata Sumaryati.
Dia memaparkan, unsur karbon yang tidak terbakar sempurna jadi CO2 akan terbentuk jadi karbon monoksida dan hidrokarbon. Adapun hidrokarbon terdiri atas banyak unsur yang dipisahkan jadi metan dan nonmetan hidrokarbon. Seluruh polutan yang dihasilkan itu kemudian akan langsung dilepas ke udara.
Sumaryati mengingatkan pembakaran atau kebakaran yang tak langsung jadi CO2 sangatlah berbahaya. Semua gas nonmetan hidrokarbon akan mengalami reaksi yang panjang dan kompleks menjadi metan, di atmosfer.
Gas metan mengalami reaksi panjang menuju CO dan terakhir gas CO teroksidasi jadi CO2. Dia menegaskan hal ini berdampak bagi lingkungan.
Sumaryati meyampaikan gas nonmetan hidrokarbon itu banyak mengandung polutan yang sifatnya mutagen atau merusak kromosom untuk mikroorganisme yang bisa menyebabkan sel jadi abnormal, zat yang dapat menyebabkan kanker, juga teratogenik atau racun yang akan mengganggu pertumbuhan janin dan imunotoksik atau mengganggu sistem kekebalan tubuh.
Sumaryati mengutip desain incinerator yang ideal dari Diego Moya pada 2017 dan memberi perbandingan pembakaran melalui sistem incinerator.
Pembakaran melalui sistem incinerator dilakukan secara bertahap yakni pembakaran dengan melalui pembakaran yang dikendalikan, pasokan oksigen yang tercukupi, juga temperatur yang tinggi sehingga pembakaran ini nyaris sempurna dengan tingkat CO2 yang tinggi. Pada tahap berikutnya akan dilakukan pembakaran untuk membakar gas non CO2 menjadi CO2.
“Gas buang melalui electrostatic precipitator akan difilter untuk mengambil partikulat. Kemudian dialirkan dalam scrubber untuk menyerap polutan asam hingga akhirnya dilepaskan ke atmosfer,” kata lulusan S2 Teknik Lingkungan ITB itu.
Insinerasi sendiri adalah teknologi pengolahan sampah yang melibatkan pembakaran bahan organik. Insinerasi menghasilkan abu, gas sisa pembakaran, panas, dan partikulat.
Isu pengelolaan sampah dengan benar dan sehat memang patut menjadi perhatian para pemangku jabatan di pemerintahan untuk memastikan sampah yang dikelola berjalan sesuai dengan standar kesehatan lingkungan.