OJK Masih Izinkan Jasa Debt Collector, Tapi dengan Aturan Ketat

Jakarta, Purna Warta – Jasa tenaga alih daya penagih utang atau debt collector kerap menjadi sorotan publik. Hal ini disebabkan oleh maraknya praktik penagihan di lapangan yang tidak sesuai dengan ketentuan hukum, bahkan hingga menimbulkan tindakan kriminal.

Menanggapi hal tersebut, Kepala Eksekutif Pengawas Perilaku Pelaku Usaha Jasa Keuangan, Edukasi, dan Perlindungan Konsumen Otoritas Jasa Keuangan (OJK), Friderica Widyasari Dewi, menjelaskan bahwa penggunaan debt collector merupakan praktik yang lazim di berbagai negara dalam kegiatan penagihan produk kredit, pembiayaan, maupun pendanaan.

“Sehingga, PUJK (Pelaku Industri Jasa Keuangan) bisa, tapi nggak wajib ya menggunakan debt collector,” ujar perempuan yang akrab disapa Kiki itu dalam Konferensi Pers Hasil Rapat Dewan Komisioner (RDK) Bulanan Oktober 2025 yang digelar secara daring pada Jumat (7/11/2025).

Lebih lanjut, Kiki menegaskan bahwa penggunaan jasa debt collector harus berlandaskan pengaturan yang ketat. Pengaturan tersebut mencakup kualifikasi perusahaan penagihan, sertifikasi Sumber Daya Manusia (SDM) yang melakukan penagihan, waktu pelaksanaan penagihan, pihak yang berhak ditagih, hingga penerapan etika dalam proses penagihan.

Dari sisi regulasi, OJK telah menerbitkan Peraturan OJK (POJK) No. 22 Tahun 2023 tentang Perlindungan Konsumen dan Masyarakat di Sektor Jasa Keuangan. Aturan tersebut secara rinci mengatur ketentuan bagi Pelaku Usaha Jasa Keuangan (PUJK) yang menggunakan jasa debt collector.

“Ketentuan itu misalnya tidak boleh menggunakan ancaman, kekerasan, atau tindakan yang bersifat mempermalukan, tidak menggunakan tekanan secara fisik, tidak boleh menagih kepada pihak selain konsumen. Misalnya yang berutang suaminya, nggak boleh menagih ke istri, ke anak, apalagi ke temannya, kolega, dan lain-lain itu nggak boleh,” jelas Kiki.

Ia juga menambahkan bahwa proses penagihan tidak boleh dilakukan dengan cara yang mengganggu dan hanya dapat dilaksanakan di alamat penagihan atau domisili konsumen. Dalam hal ini, penagihan tidak diperbolehkan dilakukan di tempat kerja peminjam maupun di tempat umum.

Selain itu, OJK juga mengatur waktu penagihan secara ketat, yaitu hanya boleh dilakukan pada hari Senin hingga Sabtu dan di luar hari libur nasional. OJK bahkan mewajibkan tenaga alih daya, termasuk petugas penagihan, untuk memiliki sertifikasi resmi.

“Kalau PUJK melakukan penagihan yang tidak sesuai dengan ketentuan, maka OJK akan mengenakan sanksi, mulai dari teguran, denda, dan pencabutan izin usaha. Karena di POJK 22 tadi, diatur bahwa PUJK itu wajib hukumnya bertanggung jawab atas kerugian konsumen yang disebabkan kesalahan, kelalaian, dan perbuatan yang bertentangan dengan ketentuan peraturan perundang-undangan di sektor jasa keuangan,” ujarnya.

Sebagai informasi, sejak tahun 2021 hingga saat ini, pengaduan masyarakat terkait perilaku penagihan meningkat lebih dari sepuluh kali lipat. Dalam periode Januari hingga Agustus 2025 saja, sekitar 26,6% dari total pengaduan konsumen berkaitan dengan isu penagihan, dan topik debt collector menjadi yang paling dominan.

Dari sisi pengawasan market conduct, OJK juga telah melakukan pemeriksaan kepatuhan serta pemeriksaan khusus terhadap perilaku petugas penagihan. Beberapa PUJK telah dikenakan sanksi, sementara sejumlah lainnya masih dalam proses pemeriksaan.

“Terutama saat ini kita lakukan pemeriksaan khusus, dan pengenaan sanksi tentunya akan kita lakukan kalau memang terbukti bersalah. Berdasarkan ketentuan di perlindungan konsumen dan masyarakat di sektor jasa keuangan, PUJK tadi saya sampaikan bertanggung jawab atas perilaku atau tindakan atas pihak ketiga yang bekerjasama dengan dia, yang dalam hal ini adalah Debt kolektor tadi, yang melanggar,” tutup Kiki.

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *