Purna Warta – Kepala Staf Kepresidenan Moeldoko menyebut bahwa Uni Eropa masih membutuhkan kelapa sawit Indonesia. Hal ini dibuktikan dengan naiknya ekspor minyak sawit Indonesia ke Eropa hingga 26 persen pada 2020.
Hal ini disampaikan Moeldoko saat menerima audensi Asosiasi Petani Kelapa Sawit Indonesia (APKASINDO) dan Duta Besar Uni Eropa untuk Indonesia Vincent Piket, di Gedung Bina Graha Jakarta, Senin 8 November 2021.
“Yang dipermasalahkan Uni Eropa soal keberlanjutan biofuel yang berasal dari kelapa sawit, bukan pada kelapa sawitnya,” jelas Moeldoko dikutip dari siaran persnya, Selasa (9/11/2021).
Menurut dia, Uni Eropa saat ini menerapkan standar tinggi dan ketat dalam membeli produk dari negara lain baik kelapa sawit maupun komoditi lain. Salah satu standar yang dipakai yakni, apakah produk atau komoditi tersebut memberikan dampak pada perusakan lingkungan atau tidak.
“Nah ini yang harus menjadi perhatian semua, termasuk para petani sawit,” tuturnya.
Duta Besar Uni Eropa Vincent Piket mengakui negara-negara Uni Eropa berambisi menjadikan Eropa sebagai benua netral iklim pada 2050, dan dapat mengurangi emisi karbon sebesar 55 persen pada 2030.
Sehingga, ada perubahan aturan yang diprediksi akan memperketat atau atau bahkan melarang masuknya produk yang tidak ramah lingkungan ke Eropa.
“Karena itu Indonesia memproduksi komoditas-komoditas yang diekspor ke Eropa dengan lebih berkelanjutan,” ujar Vincent.
Terkait hal ini, Ketua Umum APKASINDO Gulat Manurung mengklaim bahwa petani sawit Indonesia sudah mengedepankan keberlanjutan. Baik dari sisi ekonomi, ekologi, dan sosial.
“Empat puluh dua persen petani di 22 provinsi di Indonesia harus berkelanjutan dalam mengelola sawit sesuai aturan yang ada pada omnibus law cipta kerja,” kata Gulat.
Seperti diketahui, Komisi Uni Eropa telah mengancam keberlangsungan ekspor minyak sawit mentah (crude palm oil/CPO) Indonesia ke Eropa melalui regulasi Renewable Energy Directive (RED II) yang dikeluarkan pada 2018.
Kebijakan ini mewajibkan negara-negara Uni Eropa harus menggunakan RED II paling sedikit 32 persen dari total konsumsi energi negaranya.
Tidak hanya itu, kebijakan tersebut juga mengesampingkan bahkan mengeluarkan minyak kelapa sawit sebagai bahan baku produksi biofuel.