PurnaWarta — Hari ini tepat 20 tahun tentang pemakzulan yang terjadi pada Presiden Republik Indonesia yang keempat, Abdurahman Wahid. Ia dilengserkan dari jabatannya oleh MPR RI. Kala itu presiden masih ditentukan oleh MPR.
Pemakzulan dalam Sidang Istimewa MPR pada Senin petang tersebut menyatakan Gus Dur telah menyalahi haluan negara. Posisi Gus Dur sebagai kepala negara kemudian diserahkan MPR kepada Wakil Presiden Megawati Soekarnoputri.
Pemakzulan itu merupakan puncak ‘perseteruan’ Gus Dur dengan mayoritas partai politik di Senayan yang kala itu ikut berperan memilih Gus Dur sebagai presiden pada 1999.
Gus Dur diangkat oleh Poros Tengah yang diinisiasi oleh Ketua Umum Partai Amanat Nasional (PAN) Amien Rais. Amin pula berperan besar dalam proses pemakzulan Gus Dur, karena saat itu Amin adalah Ketua MPR.
Menyibak musabab pemakzulan Gus Dur seperti memasuki labirin politik. Ada tumpukan persoalan yang tak mampu diselesaikan lewat jalan kompromi politik. Mulai dari tudingan parlemen soal dugaan korupsi Gus Dur, sampai aksi sepihak Gus Dur mengangkat Chaerudin Ismail sebagai Kapolri pengganti Surojo Bimantoro.
Hal lain turut membebani langkah Gus Dur adalah hubungannya yang merenggang dengan para petinggi TNI/Polri. Sejumlah pengamat menyebut hal tersebut dipicu oleh manuver-manuver Gus Dur yang terlalu berani dalam upaya mereformasi tubuh militer.
Belum lagi hembusan isu Buloggate dan Bruneigate yang dituduhkan pada Gus Dur.
Setumpuk persoalan itu mencapai titik kulminasinya pada 23 Juli 2001 saat sidang Istimewa digelar. Dini hari sebelumnya, Gus Dur mengeluarkan dekrit presiden yang salah satunya berisi kebijakan membekukan parlemen yang tidak mendapat dukungan.
Gus Dur yang tidak hadir dalam sidang itu, dipereteli kekuasaannya dan dimakzulkan dari kursi Presiden RI.
Putri sulung Gus Dur, Alissa Wahid menceritakan bahwa ayahnya menganggap pemakzulan 23 Juli sebagai kekalahan politis.
Sempat bertahan di Istana, Kamis, 26 Juli 2001, Gus Dur keluar dari istana dan langsung terbang ke Amerika Serikat (AS) untuk berobat.
“Saya bertanya, Bapak kenapa pak memutuskan untuk mundur? ‘Enggak ada jabatan yang layak dipertahankan dengan pertumpahan darah rakyatnya nak’… Ketika beliau keluar [istana], beliau keluar untuk menjaga itu,” ujar Alissa dalam wawancara pekan lalu.
Tampuk kepemimpinan kemudian beralih ke Megawati Soekarnoputri. Hasil pemilihan di MPR kemudian menunjuk Hamzah Haz sebagai Wakil Presiden mendampingi Mega.