Kenaikan Harga Jual Eceran Rokok di Tahun 2025 dan Dampaknya pada Industri

Jakarta, Purna Warta – Pemerintah resmi menetapkan kenaikan harga jual eceran (HJE) rokok pada tahun 2025. Berdasarkan perhitungan Perkumpulan Gabungan Perserikatan Pabrik Rokok Indonesia (GAPPRI), kenaikan HJE rata-rata mencapai 10,5% dengan PPN meningkat menjadi 10,7%. Kenaikan ini akan mengerek harga rokok per golongan sebesar 13,56% hingga 28,27%, atau rata-rata naik 19%.

Baca juga: Program Pemeriksaan Kesehatan Gratis Mulai Februari 2025: Langkah Preventif untuk Indonesia Sehat

Ketua Umum GAPPRI, Henry Najoan, mengungkapkan bahwa kenaikan harga jual eceran rokok memberikan beban tambahan bagi industri hasil tembakau (IHT). “Bahkan, sigaret kretek tangan (SKT) juga mengalami kenaikan lebih tinggi, yakni 14,07% yang turut menjadi faktor kenaikan harga rokok.”

Di sisi lain, Henry menyatakan bahwa kenaikan upah minimum provinsi (UMP) belum tentu mampu mendorong daya beli masyarakat. Ketidakpastian ini, menurutnya, “justru dapat membebani produsen tembakau akibat banyaknya beban pengeluaran.”

Ia juga menyoroti potensi dampak kenaikan harga rokok terhadap peredaran rokok ilegal. “Semakin banyak konsumen yang beralih ke rokok murah, apalagi sebagiannya adalah rokok ilegal, kemungkinan besar akan membuat produksi rokok nasional menyusut. Jika ini terjadi, kami kira yang justru untung adalah penjual rokok ilegal yang tidak terbebani oleh pungutan sebagaimana rokok legal,” jelasnya.

Henry mencatat bahwa produksi rokok di dalam negeri telah mengalami penurunan rata-rata 0,78% selama 10 tahun terakhir. Tren penurunan ini, menurutnya, kemungkinan besar akan berlanjut, khususnya pada jenis SKT, yang memiliki harga jual lebih terjangkau.

“Kenaikan HJE dan pungutan lain akan memicu penurunan permintaan yang berakibat pada nasib pekerja,” ungkap Henry. Ia menambahkan bahwa kenaikan HJE pada SKT dapat memperbesar peluang peredaran rokok ilegal, karena SKT selama ini berperan sebagai tameng terhadap serbuan rokok ilegal.

Henry mengungkapkan bahwa GAPPRI telah mengajukan permohonan kepada pemerintah melalui Kementerian Keuangan (Kemenkeu) agar IHT memperoleh relaksasi tarif CHT dan HJE selama periode 2025-2027. Hal ini untuk mendukung pemulihan industri setelah terdampak kenaikan tarif di atas nilai keekonomian selama 2020-2024 dan pandemi Covid-19.

Selain itu, GAPPRI juga meminta agar PPN rokok tetap di angka 9,9% untuk menjaga keberlangsungan industri. “Agar pengaturan pada PMK No 63 tahun 2022 tentang Pajak Pertambahan Nilai Atas Penyerahan Hasil Tembakau dapat segera diharmoniskan dengan arah kebijakan pemerintah yang disampaikan oleh Ibu Menteri Keuangan pada tanggal 31 Desember 2024, mengingat IHT tidak masuk kriteria Barang Mewah,” ujarnya.

GAPPRI mengingatkan bahwa Presiden Prabowo Subianto telah memutuskan tarif dasar PPN tetap 11%. “Kalau PPN rokok menjadi 10,7%, berarti tarif dasar PPN rokok dinaikkan menjadi 12% berarti hal ini bertentangan dengan kebijakan Presiden Prabowo,” tambahnya.

Menurut GAPPRI, kenaikan tarif HJE dan PPN tidak hanya membebani pengusaha, tetapi juga memperbesar peluang peredaran rokok ilegal. “Semakin mahalnya harga rokok legal, akan membuat orang berpindah mencari rokok murah atau rokok ilegal. Apalagi dalam situasi seperti saat ini yang daya beli masih lemah. Potensi berpindah ke rokok ilegal bisa semakin marak,” tutup Henry.

Baca juga: Dana Abadi Pendidikan Rp 140 Triliun: Upaya Pemerintah Meningkatkan Kualitas SDM

Dengan kebijakan yang menekan industri tembakau secara fiskal maupun non-fiskal, GAPPRI berharap pemerintah dapat mempertimbangkan langkah relaksasi untuk menjaga keberlangsungan industri dan mencegah dampak sosial-ekonomi yang lebih luas.

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *