Kemlu: Tak Ada yang Aneh Soal Kekosongan Posisi Dubes RI untuk AS, Mekanisme Tetap Berjalan

Jakarta, Purna Warta – Kementerian Luar Negeri (Kemlu) menyebut tak ada yang aneh dengan kosongnya posisi Duta Besar Republik Indonesia (Dubes RI) untuk Amerika Serikat (AS) yang hampir dua tahun. Meskipun belum ada Dubes definitif, Kemlu memastikan bahwa kerja-kerja Kedutaan Besar tetap berjalan sesuai mekanisme diplomatik yang berlaku.

Baca juga: Le Minerale Salurkan Donasi Rp 250 Juta untuk Palestina Lewat Program Daur Ulang Botol

“Dalam kebiasaan diplomatik sebetulnya tidak ada yang aneh apabila suatu pos duta besar belum sempat terisi karena tetap mekanisme berjalan, di mana kantor KBRI atau KJRI akan dipimpin oleh KUAI (Kuasa Usaha Ad Interim/ Charge d’Affaires),” kata Jubir Kemlu Roy Soemirat, saat dihubungi, Selasa (8/4/2025).

Roy juga menegaskan bahwa kekosongan posisi Dubes tidak memengaruhi negosiasi terkait kebijakan tarif dari AS. Ia menjelaskan bahwa tidak semua bentuk negosiasi harus dilakukan oleh pejabat tingkat tinggi.

“Tidak semua negosiasi itu dilakukan pada tingkat tinggi juga. Banyak meetingnya,” ujarnya.

Soal kapan posisi Dubes akan diisi, Roy mengatakan bahwa hal tersebut sepenuhnya menjadi kewenangan presiden.

“Sesuai UUD, penunjukkan duta besar untuk negara asing merupakan sepenuhnya hak preogratif presiden,” imbuhnya.

Sementara itu, pemerintah Indonesia tengah menyiapkan sejumlah strategi dalam menghadapi kebijakan tarif timbal balik atau resiprokal dari Amerika Serikat. Langkah ini dilakukan melalui jalur diplomasi dengan tetap mengedepankan pendekatan yang saling menguntungkan.

Menteri Koordinator Bidang Perekonomian Airlangga Hartarto menyampaikan bahwa Indonesia memilih pendekatan diplomatik, bukan retaliasi, dalam merespons kebijakan tersebut.

“Indonesia sendiri akan mendorong beberapa kesepakatan dan dengan beberapa negara ASEAN, menteri perdagangan juga berkomunikasi selain dengan Malaysia juga dengan Singapura, dengan Kamboja dan yang lain untuk mengalibrasi sikap bersama ASEAN,” ujar Airlangga.

Dalam pertemuan dengan pelaku usaha, pemerintah menyampaikan empat paket negosiasi yang tengah disiapkan.

Pertama, Indonesia akan mengusulkan revitalisasi perjanjian kerja sama perdagangan dan investasi atau Trade & Investment Framework Agreement (TIFA). Perjanjian yang ditandatangani pada tahun 1996 tersebut dinilai sudah tidak relevan dengan kondisi perdagangan saat ini.

“Karena TIFA sendiri secara bilateral ditandatangani di tahun 1996 dan banyak isunya sudah tidak relevan lagi sehingga kita akan mendorong (revitalisasi) berbagai kebijakan itu masuk dalam TIFA,” ucap Airlangga.

Kedua, pemerintah akan mengajukan deregulasi terhadap Non-Tariff Measures (NTMs), salah satunya dengan merelaksasi ketentuan Tingkat Komponen Dalam Negeri (TKDN) di sektor teknologi informasi dan komunikasi. Pemerintah juga akan mengevaluasi kebijakan pelarangan dan pembatasan terhadap barang-barang ekspor dan impor dari AS.

Baca juga: Prabowo Temui Para Pemimpin Timur Tengah untuk Dukung Rencana Evakuasi 1.000 Warga Gaza ke Indonesia

Solusi ketiga yang ditawarkan Indonesia adalah dengan meningkatkan impor dan investasi dari AS, salah satunya melalui pembelian migas.

Keempat, pemerintah akan menyiapkan insentif fiskal dan nonfiskal. Strategi ini mencakup penurunan bea masuk, Pajak Penghasilan (PPh) impor, dan Pajak Pertambahan Nilai (PPN) impor untuk mendorong impor dari AS serta menjaga daya saing ekspor Indonesia ke pasar AS.

“Terkait dengan tarif dan bagaimana kita meningkatkan impor, bagaimana dengan impor ekspor kita yang bisa sampai 18 miliar dolar AS diisi dengan produk-produk yang kita impor, termasuk gandum, katun bahkan juga salah satunya adalah produk migas,” ujar Airlangga.

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *