Jakarta, Purna Warta – Juru Bicara Kementerian Perindustrian (Kemenperin), Febri Hendri Antoni Arif, menyampaikan bahwa kebijakan Tingkat Komponen Dalam Negeri (TKDN) memberikan perlindungan bagi industri nasional.
Baca juga: Indonesia Resmi Terapkan Pajak Minimum Global Mulai 2025
Kebijakan ini menjamin pertumbuhan permintaan bagi industri melalui belanja pemerintah pusat/daerah serta BUMN/BUMD, termasuk menciptakan pasar domestik yang kuat untuk industri Handphone, Komputer Genggam, dan Tablet (HKT). Selain itu, penerapan kebijakan TKDN menjadi jaminan investasi bagi manufaktur dan membuka lapangan kerja baru.
“Penerapan TKDN menunjukkan adanya peningkatan investasi baru, produktivitas industri, dan penyerapan tenaga kerja baru, seperti pada industri alat kesehatan, farmasi, juga elektronik termasuk HKT. Realisasi belanja pemerintah atas produk manufaktur ber-TKDN selalu meningkat setiap tahun, dari Rp 989,97 triliun di tahun 2022 menjadi Rp 1.499,75 triliun di tahun 2023,” jelas Febri dalam siaran persnya, Kamis (16/1/2025).
Febri juga menegaskan bahwa kebijakan TKDN berhasil mengurangi impor HKT dan komponennya. Meski impor berkurang, permintaan produk HKT di Indonesia tetap tinggi dan kini dapat dipenuhi oleh produksi dalam negeri.
Menanggapi opini dari peneliti Centre for Strategic and International Studies (CSIS) yang menyebutkan TKDN bertentangan dengan kepentingan dunia usaha dan pembangunan industri, Febri menyatakan bahwa data empiris yang digunakan sudah tidak relevan. Ia menilai kebijakan TKDN saat ini lebih modern dan adaptif dibandingkan dengan periode penelitian yang dijadikan rujukan.
“Kebijakan tersebut mampu mendongkrak penjualan kendaraan roda empat yang terpuruk karena Covid-19. Tidak hanya itu, meningkatnya penjualan produk otomotif pada periode tersebut juga meningkatkan produktivitas industri komponen otomotif pada tier 1 dan tier 2 dalam negeri yang memasok kebutuhan komponen industri otomotif itu sendiri,” jelasnya.
Febri juga mengkritisi penelitian CSIS tahun 2022 yang menggunakan data lama dari BPS tahun 2018-2019. Ia menyebutkan bahwa pada periode tersebut baru 3.207 produk bersertifikat TKDN, sementara pada 2022 jumlahnya melonjak menjadi 8.040 produk.
“Bandingkan dengan tahun 2022 yang telah terdapat sebanyak 8.040 produk telah bersertifikasi TKDN, dan realisasi belanja dalam negeri pemerintah sebesar Rp989,97 triliun. Sayangnya, hal ini tidak tertangkap oleh peneliti CSIS, terlebih lagi dampak dari belanja pemerintah tersebut pada industri manufaktur dalam negeri. Peneliti CSIS perlu memperbarui perhitungan ekonometrinya dengan menggunakan data lebih mutakhir,” terangnya.
Febri juga membantah klaim bahwa TKDN menghambat investasi perusahaan global, seperti Apple. Ia meluruskan bahwa proposal investasi Apple yang belum disetujui adalah terkait skema 3 untuk periode 2024–2026, bukan penolakan terhadap pembangunan pabrik AirTag.
“Kami mendukung dan mengapresiasi pembangunan pabrik AirTag senilai US$ 1 miliar di Batam. Yang jadi catatan kami, investasi US$ 1 miliar tersebut untuk memproduksi aksesoris yang bukan merupakan komponen di dalam iPhone, sehingga tidak bisa dihitung sebagai TKDN ponsel jenis tersebut,” kata Febri.
Febri juga meminta CSIS mengungkapkan sumber pendanaan penelitian TKDN tahun 2022, mengingat publikasi hasil penelitian dilakukan menjelang habisnya masa berlaku sertifikasi TKDN produk Apple.
Di sisi lain, Kepala Pusat Peningkatan Penggunaan Produk Dalam Negeri (Kapus P3DN) Kemenperin, Heru Kustanto, menambahkan bahwa sejak Pusat P3DN dibentuk pada 2019, Kemenperin terus mendorong penggunaan produk lokal melalui sertifikasi TKDN, sosialisasi kepada industri, dan kemudahan sertifikasi bagi industri kecil.
“Dalam perkembangannya, produk yang pengadaannya banyak oleh pemerintah, investasinya juga meningkat. Selain investasi baru, perusahaan juga menambah kapasitas produksinya karena meningkatnya permintaan di dalam negeri,” jelas Heru.
Febri menegaskan bahwa kebijakan TKDN justru mendorong peningkatan produktivitas industri dan daya saing, bukan sebaliknya. Kebijakan ini telah menciptakan nilai tambah yang dapat dimanfaatkan industri untuk inovasi produk, efisiensi produksi, dan peningkatan produktivitas.