Jakarta, Purna Warta – Gemuknya pemerintahan Presiden Prabowo Subianto-Gibran Rakabuming Raka dinilai dapat menghambat pencapaian target pertumbuhan ekonomi 8%. Hal ini disebabkan banyaknya peraturan yang harus disesuaikan sehingga program-program pemerintah tidak bisa langsung berjalan efektif sejak awal.
Prabowo telah melantik 109 menteri dan wakil menteri, dengan jumlah kementerian mencapai 48, meningkat dari era Presiden ke-7 Joko Widodo yang hanya memiliki 34 kementerian.
“Sebelum pelantikan kabinet itu saya sempat optimis dalam 5 tahun, 8% itu tercapai. Cuman setelah ada pelantikan kabinet dan jumlah anggotanya melebihi 100 orang, saya sampaikan bahwa itu jadi imajinatif pertumbuhan 8%,” ujar ekonom Indef, Ariyo DP Irhamna, dalam diskusi virtual, Senin (23/12/2024).
“Karena dengan banyaknya kabinet ini, pemecahan, pemerintah tidak bisa gas di awal. Jadi akan banyak penyesuaian peraturan yang dulu disusun oleh pemerintah sebelumnya itu perlu penyesuaian,” tambah dia.
Sebagai contoh, Jokowi sebelumnya membentuk Dewan Sumber Daya Air Nasional yang diketuai oleh Menko Marves. Namun, dengan tidak adanya Kemenko Marves di kabinet Prabowo, Perpres yang mengatur dewan tersebut harus disesuaikan terlebih dahulu, yang pada akhirnya menyebabkan saling tunggu di antara kementerian/lembaga.
Ariyo membandingkan pendekatan Indonesia dengan negara lain seperti Argentina dan Vietnam, yang justru merampingkan kabinet mereka. Menurutnya, langkah tersebut dipandang positif oleh dunia internasional dan memberikan dampak baik bagi perekonomian negara masing-masing.
Argentina, misalnya, yang sempat mengalami krisis ekonomi pada 2023, mulai bangkit berkat reformasi birokrasi. Presiden Argentina yang baru, Javier Milei, memangkas jumlah kementerian dari 19 menjadi 8.
“Argentina ini memiliki presiden baru di 2023 yang sangat nyentrik. Jadi ketika dia terpilih dia langsung memangkas jumlah kementeriannya dari 19 jadi 8. Ini banyak dibahas di World Bank, OECD, jadi pemicu peningkatan aktivitas pertumbuhan ekonomi, di Argentina ini salah satunya adalah reformasi birokrasi,” terang Ariyo.
Reformasi birokrasi tersebut memberikan kepercayaan lebih kepada investor. Ariyo menambahkan bahwa langkah Argentina ini telah diadopsi oleh berbagai negara, termasuk Amerika Serikat (AS). Presiden AS terpilih, Donald Trump, bahkan menunjuk Elon Musk sebagai pemimpin Dewan Efisiensi Pemerintahan untuk memangkas pengeluaran dan birokrasi yang tidak efektif.
“Tidak hanya berhenti di AS, negara tetangga juga, kita tahu semua, Vietnam baru-baru saja dia menurunkan PPN dan memangkas birokrasi dan kementeriannya dan jumlah ASN. Jadi ini tren baru, tapi kita tahu Pemerintahan Prabowo sekarang bukan memangkas justru menambah jumlah kementerian,” bebernya.
Selain itu, tantangan dalam mengejar target pertumbuhan ekonomi juga datang dari kemampuan pemerintah mendatangkan investasi. Menurut Head for Center of Sharia Economic INDEF, Dr. Handi Risza, Indonesia membutuhkan tambahan investasi sebesar Rp 13-14 ribu triliun dalam 5 tahun ke depan.
“Artinya pertumbuhan investasi harus menyentuh 11-19% dan tidak boleh hanya 5-6%. Investasi nantinya akan berperan terhadap 30% pertumbuhan ekonomi,” jelas Handi.
“Jadi kalau mencapai angka Rp 13-14 ribu triliun itu harus ditargetkan pertumbuhannya 11-19%. Nggak boleh hanya 5-6% pertumbuhan investasinya,” tutupnya.