Jakarta, Purna Warta – Indonesia menjadi salah satu negara yang terdampak kebijakan tarif resiprokal yang diberlakukan oleh Presiden Amerika Serikat (AS), Donald Trump. Dalam kebijakan tersebut, produk impor asal Indonesia dikenakan tarif sebesar 32%. Menyikapi hal ini, pemerintah Indonesia telah mengirimkan utusan untuk melakukan negosiasi langsung dengan pihak AS.
Wakil Presiden ke-10 dan ke-12 Republik Indonesia, Jusuf Kalla (JK), menilai bahwa pemerintah perlu segera memberikan klarifikasi terhadap klaim bahwa Indonesia mengenakan tarif sebesar 64% terhadap barang asal AS.
“Negosiasi ialah menurunkan tarif itu. Karena dasarnya bahwa dianggap Amerika, kita kenakan dia 64% (tarif). Mana 64% itu? Angka apa? Sehingga kena 32%, itu negosiasikan. Mana buktinya bahwa tidak benar itu? Jadi, kalau kita bisa buktikan bahwa kalau kita hanya kenakan 30%, maka hanya kena tarif 15%” katanya kepada wartawan di kediamannya, Kebayoran Baru, Jakarta Selatan, Sabtu (5/4/2025).
Lebih lanjut, JK menjelaskan bahwa masyarakat perlu memahami perbedaan antara harga impor dan harga jual produk dari AS di Indonesia. Ia menekankan bahwa dampak nyata dari tarif tersebut tidak sebesar yang tampak.
“Ada dua harga, ada harga impor misal sepatu US$15–US$20. Harga jual US$50–US$70. Yang berpengaruh pada rakyat Indonesia (tarif) harga jual. Sedangkan yang dikenakan tarif 32% itu harga impor. Jadi efeknya bukan 32%, cuma 10%” terangnya lebih lanjut.
JK juga menyoroti perbedaan kondisi perdagangan antara Indonesia dan China. Menurutnya, posisi Indonesia belum sekuat China yang menjadi pemasok utama barang jadi ke pasar AS, termasuk di ritel-ritel besar seperti Walmart.
“Saya kira kita bukan posisi seperti China. China lebih banyak pabrik barang jadi. Kalau ada masuk ke Walmart di Amerika, mungkin 90% barang yang dijual itu buatan China, barang jadi semua. Kalau kita tidak. Sebagian besar ada barang jadi, seperti sepatu, tapi murah,” katanya.
Oleh karena itu, JK menilai bahwa Indonesia tidak perlu memberikan balasan berupa tarif impor terhadap AS, karena dampaknya terhadap perekonomian nasional masih tergolong kecil.
“Hanya Rp 26 miliar dibanding dengan triliunan impor dia. Tidak akan pengaruh banyak,” tutupnya.