Jakarta, Purnawarta – Kualitas udara DKI Jakarta dalam 10 tahun terakhir dinilai buruk menurut Komite Penghapusan Bensin Bertimbel (KPBB).
Selain itu, dari berbagai sumber polutan, sepeda motor jadi penyumbang paling banyak.
“Tren kualitas udara DKI Jakarta relatif buruk, setidak-tidaknya dalam 10 terakhir ini. Konsentrasi pencemaran udara untuk parameter PM10 melewati baku mutu yang ditetapkan pemerintah, demikian pula PM 2,5, Ozon, dan sulfur dioksida, yang masih di bawah baku mutu itu hanya nitron dioksida, dan karbon monoksida,” kata Direktur Eksekutif KPBB, Ahmad Safrudin dalam diskusi virtual.
KPBB menjelaskan pada periode 2011-2020, kualitas udara Jakarta tidak sehat. Pada 2020 konsentrasi rata-rata tahunan PM 2,5 (46,1 g/m3), PM10 (59,03 g/m3), Ozone (83,3 g/m3), dan sulfur dioksida (42,76 g/m3). Sementara nitrogen dioksida 14,92 g/m3 dan karbon monoksida 3.610 g/m3.
“Kondisi seperti ini menempatkan Jakarta tidak sehat,” jelas dia.
Dia memaparkan konsentrasi pencemaran konsentrasi PM10 totalnya cukup besar, sekitar 39 ribu ton (per hari) polutan dimuntahkan di DKI Jakarta dan sekitarnya. Sebanyak 19 ribu di antaranya berasal dari kendaraan bermotor atau sekitar 47 persen, 20 persen industri, 11 persen dari debu jalanan, pembakaran sampah 5 persen, konstruksi sekitar 11 persen, dan power plant 4 persen.
Sedangkan konsentrasi PM 2,5 atau partikel debu 2,5 milimicron totalnya itu 29 ribu ton per hari. Hampir 17 ribu ton berasal dari transportasi.
“Beban emisi -polutan udara, di Jabodetabek diperkirakan 19.165 ton per hari, yang bersumber dari sepeda motor 45 persen, truk 20 persen, bus 13 persen, mobil diesel 6 persen, mobil bensin 16 persen, dan kendaraan roda tiga sekitar 0,01 persen,” ujar pria yang disapa puput ini.
Dinas Lingkungan Hidup (DLH) DKI membuat Strategi Pengendalian Pencemaran Udara (SPPU) untuk menanggulangi dampak pencemaran udara di Jakarta. Tapi KPBB melihat ini diprediksi hanya akan menjadi macan kertas.
Konsep yang diajukan DLH seperti Grand Strategy dan lainnya dinilai KPBB masih belum bisa diterapkan sejauh itu dikarenakan tidak ada perundangan yang mendukung hal tersebut.