Indonesia Perkuat Agenda Dedolarisasi Setelah Resmi Bergabung dengan BRICS

Jakarta, Purna Warta – Dedolarisasi atau upaya mengurangi penggunaan mata uang Dolar AS menjadi salah satu agenda utama negara-negara anggota BRICS. Bergabungnya Indonesia ke dalam BRICS dinilai dapat mempercepat langkah Indonesia dalam mengurangi ketergantungan terhadap Dolar AS.

Direktur Center of Economics and Law Studies (Celios), Bhima Yudhistira, mengungkapkan bahwa agenda dedolarisasi di Indonesia bisa semakin kuat setelah resmi menjadi anggota BRICS. Salah satunya adalah melalui penggunaan mata uang lokal dalam transaksi dengan negara anggota BRICS seperti India, Afrika Selatan, dan Brazil.

Di sisi lain, China juga semakin aktif mendorong kerja sama Cross Border Interbank Payment System (CIPS) dengan India dan Rusia. Indonesia dapat mempertimbangkan CIPS sebagai alternatif untuk mengurangi ketergantungan terhadap sistem SWIFT yang identik dengan penggunaan Dolar AS.

“Agenda dedolarisasi bisa makin menguat begitu Indonesia join BRICS. Sebelum mengarah ke pembentukan mata uang bersama anggota Brics, yang paling mungkin adalah mengurangi dolar dalam sistem pembayaran,” jelas Bhima saat dihubungi detikcom, Minggu (12/1/2025).

Selain itu, Bhima juga menyoroti pemanfaatan devisa emas oleh bank sentral di negara-negara BRICS yang berpotensi mempercepat proses dedolarisasi.

Meski peluang besar terbuka, Peneliti Center of Reform on Economics (CORE) Indonesia, Yusuf Rendy Manilet, mengingatkan bahwa proses dedolarisasi tidaklah mudah. Menurutnya, meskipun Indonesia bergabung dengan BRICS, pengurangan ketergantungan pada Dolar AS memerlukan proses bertahap dan tidak bisa berlangsung cepat.

“Masuknya Indonesia ke dalam BRICS memang membuka peluang besar untuk mengurangi ketergantungan pada dolar AS, tapi proses ini tidak akan berjalan dengan mudah atau cepat seperti yang mungkin dibayangkan,” ujar Yusuf Rendy.

Ia menilai dominasi Dolar AS di sektor keuangan global masih sangat kuat. Oleh karena itu, dedolarisasi harus dilakukan secara bertahap.

“BRICS memang punya agenda kuat untuk mengurangi dominasi dolar, misalnya lewat pengembangan sistem pembayaran alternatif dan penggunaan mata uang lokal dalam perdagangan antar anggotanya. Namun, kita harus realistis bahwa dedolarisasi harus dilakukan secara bertahap, mengingat peran dolar AS yang masih sangat dominan dalam sistem keuangan global,” jelas Yusuf.

Bhima juga menegaskan bahwa dominasi Dolar AS di perdagangan dan sistem pembayaran global sangat besar, sehingga tidak mudah untuk diubah.

“Memang tidak mudah. Sekarang itu 54% perdagangan dunia masih didominasi Dolar. Selain itu 58% sistem pembayaran global juga bergantung ke Dolar,” ungkap Bhima.

Indonesia sebenarnya sudah mulai mengurangi penggunaan Dolar AS melalui berbagai kebijakan. Salah satunya adalah implementasi layanan Local Currency Transaction (LCT) yang diinisiasi oleh Bank Indonesia (BI). Penggunaan mata uang lokal dalam transaksi internasional tanpa melibatkan Dolar AS terus meningkat.

Berdasarkan catatan detikcom, secara kumulatif implementasi LCT sejak Januari hingga Juni 2024 mencapai US$ 4,7 miliar atau sekitar Rp 75,67 triliun. Angka ini naik sebesar 45,7% dibandingkan periode yang sama pada tahun 2023. Kerja sama LCT telah dijalin Indonesia dengan berbagai negara, termasuk Malaysia, Thailand, Jepang, China, Singapura, Korea Selatan, India, dan Uni Emirat Arab (UAE).

Dengan bergabungnya Indonesia ke dalam BRICS dan berbagai langkah konkret seperti LCT, upaya mengurangi ketergantungan terhadap Dolar AS diharapkan dapat terus berkembang, meskipun tantangannya tidak ringan.

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *