IJABI Gelar Peluncuran dan Diskusi Buku “Dahulukan Akhlak di Atas Fikih”

Bandung, Purna Warta – Kegiatan dalam rangka mengenang kelahiran cendekiawan muslim almarhum Dr. KH. Jalaluddin Rakhmat, IJABI bekerjasama dengan Penerbit Mizan dan Yayasan Jalan Rahmat menggelar peluncuran dan diskusi buku “Dahulukan Akhlak Di Atas Fikih” di Aula Dr. KH. Jalaluddin Rakhmat Jln. Kampus II Babakansari, Kiaracondong, Sabtu (26/8), sebagaimana dilansir Koran Gala.

Perbedaan dalam tata cara fikih di tengah umat Islam merupakan sesuatu yang wajar terjadi. Masalahnya terletak pada sikap yang mensakaralkan fikih dan menjadikannya sebagai sesuatu yang tetap. Padahal fikih itu sejatinya bersifat lentur dan dipayungi nilai universal bernama akhlak, adalah benang merah yang mengemuka pada diskusi buku yang ditulis Dr. KH. Jalaluddin Rakhmat tersebut.

Tampil sebagai narasumber KH. Husein Muhammad (Pengasuh Pondok Pesantren Dar Al-Fikr Cirebon) dan KH. Miftah Fauzi Rakhmat (Ketua Dewan Pembina Yayasan Muthahhari). 

Buya Husein -sapaan akrab Husein Muhammad- menangkap kegelisahan cendekiawan yang sering dipanggil Kang Jalal tersebut, ketika melihat realitas kehidupan beragama umat Islam di negeri ini. Dia terpanggil untuk menjelaskan kembali hal ihwal tentang fikih, yang dirunut hingga ke zaman Nabi Muhammad Saw. 

Bagi Buya Husen sendiri, fikih sesungguhnya adalah kesimpulan terhadap teks yang didasarkan pada prinsip-prinsip kemanusiaan. Tidak mungkin mujtahid merumuskan hukum, tanpa mempertimbangkan aspek kemanusian. “Tapi kemudian kita mensakralkan dan menjadikannya sebagai teks suci,” kata pendiri Fahmina Institute Cirebon itu.

Kemudian Buya Husein mengungkapkan, teks apa pun baik Al-Qur’an atau hadits Nabi  dibagi menjadi dua, yaitu teks partikular dan teks universal. Teks partikular merupakan teks hukum yang membicarakan kasus per kasus. Sementara teks universal berbicara tentang nilai-nilai kemanusiaan yang disebut juga sebagai akhlak. 

Teks-teks partikular itu, lanjutnya,  menjadi benar pada masanya karena merespons sebuah realitas masyarakat dalam kebudayaan. Sedangkan kebudayaan itu sendiri  terus berubah, berbeda-beda dan berkembang. Karena itulah seharusnya rumusan fikih juga berkembang. Hanya prinsip-prinsipnya yang harus tetap.

Dalam pandangannya, radikalisme terjadi karena kasus partikularnya yang menonjol. Fanatisme buta terhadap sebuah pemahaman fikih dipegang erat-erat. Menolak dialog dengan pemikiran yang terbuka. Sebab itu ketika konsep kehidupan berubah dan kaum radikal kalah, mereka marah dan bertindak di luar batas.

Berkaitan dengan itu dia mengajak umat Islam untuk memahami teks-teks keagamaan secara lebih terbuka, bergeser dari tekstualisme ke kontekstualisme, dari konservatisme ke modernisme.

Sementara itu, KH. Miftah Fauzi Rakhmat mencontohkan penerapan fikih salat Jum’at yang  berbeda dengan umumnya kaum muslimin. Saat dirinya berkunjung ke negara Tunisia, dia mendapati salat Jum’at di sana di bagi menjadi tiga gelombang. Hal itu tentu saja memiliki alasan secara fikih yang mengacu pada kondisi setempat.

“Perbedaan tata cara fikih adalah sesuatu yang lumrah. Kita mungkin akan kaget dengan sebuah penerapan fikih seperti di Tunisia itu. Akan tetapi itulah kenyataannya, dan tentu mereka di sana memiliki alasan sendiri,” tutur penulis buku “Arbain Imam Nawawi Perspektif Keluarga Nabi Saw” tersebut .

Diakuinya, judul buku “Dahulukan Akhlak Di Atas Fikih” disalahpahami sebagian orang. Mereka menilai seolah Kang Jalal mengajak umat untuk meninggalkan fikih atau mempertentangan antara akhlak dan fikih. Padahal anggapan itu tidak benar. Buku tersebut sama sekali tidak meremehkan fikih.

“Jika dibaca isinya, buku ini banyak ilmu fikihnya. Tidak menghadapkan fikih dan akhlak dalam posisi saling bertentangan. Pesan besar dalam buku ini sebenarnya sederhana, jika terjadi perbedaan dalam penerapan fikih maka utamakan akhlak,” ujar Miftah. 

Kang Jalal, jelas Miftah, sadar betul judul buku tersebut akan mengundang kesalahpahaman orang. Oleh karena itu dalam proses penulisannya, Kang Jalal sempat akan megganti judul itu  dengan kalimat lain. Tapi Miftah memperahankannya. “Tentang judul itu saya tidak setuju diganti. Jika kemudian terjadi kesalahpahaman, itu bagian dari proses yang harus dijalani,” tambahnya.

Pernah suatu ketika, Kang Jalal mendapat kiriman buku karyanya tersebut dari seseorang melalui jasa paket.  Jilid buku sudah dirobek dan judulnya pun dicoret, lalu terdapat tulisan “Dahulukan Fikih Di Atas Akhlak”.

Mengutip pendapat Kang Jalal, Miftah menerangkan, fikih itu adalah ilmu andai-andai. Artinya, membahas sesuatu hukum berdasarkan kemungkinan-kemungkinan yang akan terjadi dalam situasi tertentu. Dengan kata lain, fikih adalah sesuatu yang lentur dan dinamis dengan dipayungi nilai universal bernama akhlak.

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *