Jakarta, Purna Warta – Dalam peringatan Milad ke-13, Ormas Ahlulbait Indonesia (ABI) meluncurkan buku berjudul Pancasila dalam Paradigma Ahlulbait Indonesia di Hotel Kaisar, Jakarta Selatan, Jumat (10/3).
“Baru draf, wajar masih banyak yang harus disempurnakan. Karena itu masih butuh banyak masukan, koreksi dan catatan. Bila kelak sudah dirasa mencukupi, buku itu akan diluncurkan kembali sebagai karya tafsir ABI atas Pancasila,” ujar penulis utama buku yang juga anggota Dewan Syura ABI, Dr. Mushin Labib MA, dalam acara diskusi buku yang menjadi bagian dari rangkaian acara Milad ABI tersebut.
Baca Juga : AS Bereaksi Terhadap Kunjungan Lukashenko ke Iran
Baca Juga : Iran Lanjutkan Penerbangan dengan Arab Saudi Setelah Izin Resmi
“Buku ini terdiri dari tiga bab, selain pengantar. Bab pertama berisikan sejarah Pancasila, bab kedua tentang konsepsi Pancasila, dan bab ketiga seputar implementasi Pancasila.” Jelas Muhsin Labib.
Bab pertama, imbuh Labib, terbagi dalam beberapa bagian yang utamanya menelusuri fakta sejarah Pancasila sebagai sebuah konsensus atau produk kontrak sosial.
“Jadi tidak sekadar mengikuti narasi yang sudah berkembang bahwa ada konsensus (kesepakatan) dimulai dari terbentuknya BPUPKI begitu saja, tapi kami mencari fakta agar nantinya dapat kami justifikasi secara teologis,” papar dia dalam keterangan resminya.
Tujuan penelusuran yakni untuk memastikan Pancasila bukan buah pikiran yang tiba-tiba diterima oleh semua orang. “Di situlah kami melakukan penelusuran secara historis,” ujarnya.
Pada bab kedua, setelah menemukan indikasi bahwa Pancasila adalah buah konsensus atau kontrak sosial, maka sebagai organisasi Islam yang memilih ahlulbait sebagai metode memahami Islam, perlu memastikan penerimaan Pancasila tidak keluar dari dasar teologi keislaman Syiah.
“Maka, pada bab ini ada dua bagian, pertama bicara tentang asas dan bagian kedua masuk tafsir interpretasi sesuai yang kami bangun dalam bagian pertama,” jelas dia.
Pada bab kedua, menyangkut penafsiran sila demi sila di Pancasila. Misalnya, penafsiran terhadap sila keempat yang berbunyi Kerakyatan yang dipimpin oleh hikmat kebijaksanaan dalam persmusyawaratan/perwakilan.
“Mungkin saja ini penguatan pada kata hikmah (yang) terdiri dari dua sisi. Ketika mereka yang mewakili, yang bermusyawarah diharapkan menghasilkan produk-produk yang hikmah atau undang-undang itu harus memiliki wisdom atau kebijaksanaan, dan untuk melahirkan undang-udang yang hikmah, mau tidak mau mereka yang bermusyawarah, mereka yang mewakili masyarakat harus memiliki wisdom,” tegas Labib.
Baca Juga : Aksi Protes Selama Berminggu-minggu Atas Reformasi Hukum Netanyahu
Baca Juga : Di Ajang Olahraga, Indonesia Pernah lho Menolak Israel; Ini Buktinya
Sementara itu, bab terakhir atau ketiga, berbicara tentang apa yang semestinya. Sebagai sesuatu yang semestinya, tentu semuanya bagus, meski banyak membuat penafsiran berbeda.
“Persoalannya, bagaimana implementasi dari suatu konsep. Tafsir ABI soal implementasi juga harus selaras dengan konsepsi. Jadi, jika konsepsi kita sudah utuh, apa yang kita harapkan dari implementasi harus selaras dengan konsepsi kita,” pungkasnya.