Di Depan Parlemen Iran, Peneliti Indonesia Paparkan 5 Rekomendasi Atasi Tantangan Keluarga

Teheran, Purna Warta – Islamic Parliament Research Center of Iran (IPRC) atau Pusat Penelitian Parlemen Islam Iran telah menggelar Seminar Internasional dengan tema “Keluarga, Masa Depan, dan Ikatan Berkelanjutan” pada Rabu (18/12) di Pusat Konferensi Internasional IRIB di Teheran, ibukota Republik Islam Iran. Seminar yang dihadiri pakar budaya dan sosial dari berbagai negara termasuk Indonesia ini diselenggarakan dalam rangka memperingati ulang tahun ke-30 Tahun Keluarga Internasional yang diluncurkan oleh PBB, sebagai pengakuan atas dasar-dasar keluarga dalam masyarakat.

Baca juga: Iran Kecam Serangan Israel di Yaman

Tujuan seminar ini adalah untuk mempertemukan peneliti Iran dan Internasional yang tertarik mempelajari status keluarga dan perannya di dunia saat ini dan dunia masa depan serta mengidentifikasi kebutuhan kebijakan nasional dan global tentang perlindungan keluarga sebagai lembaga fundamental masyarakat. Seminar ini dibuka oleh pidato sambutan Presiden Iran, dr. Masoud Pezeshkian dan sambutan penutup disampaikan Ketua Parlemen Iran, Dr. Mohammad Baqer Qalibaf. Hadir sebagai delegasi Indonesia yang juga menjadi salah satu pembicara pada seminar ini, Dr. Dina Yulianti, dosen Hubungan Internasional Universitas Padjajaran Bandung.

 

Berikut materi yang disampaikan pakar geopolitik Timur Tengah dan peneliti di bidang perempuan dan keluarga ini dalam seminar tersebut:

Hadirin yang terhormat,

Assalamu’alaikum warahmatullahi wabarakatuh, selamat pagi, dan salam hangat untuk kita semua.

Pertama-tama, izinkan saya menyampaikan rasa terima kasih kepada panitia yang telah memberi saya kesempatan untuk berbicara di konferensi penting ini. Tema konferensi kita hari ini, “Keluarga, Masa Depan, Ikatan yang Berkelanjutan,” merupakan isu yang sangat relevan dan mendalam, terutama di tengah tantangan global yang dihadapi oleh keluarga sebagai institusi sosial yang fundamental.

Keluarga bukan hanya unit terkecil dalam masyarakat tetapi juga fondasi untuk membentuk nilai-nilai, pendidikan, dan kesejahteraan individu. Di Indonesia, peran keluarga sangat signifikan. Menurut data dari Badan Pusat Statistik (BPS) pada tahun 2023, 68% penduduk Indonesia hidup dalam struktur keluarga inti, sementara 29% hidup dalam rumah tangga keluarga besar. Hal ini menunjukkan bahwa struktur keluarga tetap menjadi elemen penting dalam kehidupan sehari-hari dalam masyarakat Indonesia.

Namun, keluarga di Indonesia menghadapi tantangan yang cukup besar. Berdasarkan survei BPS tahun 2022, angka perceraian di Indonesia mencapai 1,6 per 1.000 orang, dengan sebagian besar kasus disebabkan oleh masalah ekonomi dan ketidakcocokan pasangan. Data ini menunjukkan bahwa stabilitas keluarga sangat dipengaruhi oleh faktor ekonomi dan hubungan interpersonal, yang merupakan isu penting dalam konteks pembangunan berkelanjutan.

Secara global, keluarga menghadapi tantangan serupa. Menurut laporan UNICEF tahun 2021, lebih dari 356 juta anak di seluruh dunia hidup dalam kemiskinan ekstrem, yang memengaruhi kemampuan keluarga untuk menyediakan pendidikan, layanan kesehatan, dan gizi yang memadai. Lebih jauh, urbanisasi dan globalisasi telah memengaruhi struktur keluarga. Di negara-negara maju, misalnya, proporsi rumah tangga dengan orang tua tunggal terus meningkat. Di Amerika Serikat, data dari Pew Research Center tahun 2022 menunjukkan bahwa sekitar 23% anak hidup dengan hanya satu orang tua, dibandingkan dengan 7% pada tahun 1960.

Perubahan struktur keluarga ini memaksa kita untuk memikirkan kembali cara memperkuat ikatan keluarga agar tetap relevan di era modern. Pada abad ke-21, berbagai tantangan seperti perubahan iklim, kelangkaan sumber daya, dan pertumbuhan populasi telah mengubah lanskap geopolitik dan memengaruhi struktur keluarga di seluruh dunia.

Baca juga: Iran dan Mesir Bahas Aksi Kolektif Melawan Israel

Hari ini, saya akan membahas secara singkat dua poin analisis holistik tentang bagaimana sistem dan kebijakan keluarga bertindak sebagai agen perubahan di dunia kita yang terus berkembang pesat.

Poin Pertama: Keberlanjutan Keluarga dan Sosial

Keluarga berfungsi sebagai fondasi bagi sosialisasi, dukungan ekonomi, dan transfer pengetahuan antargenerasi. Mereka memengaruhi pola-pola masyarakat, termasuk konsumsi, pendidikan, dan tenaga kerja, sehingga menjadikannya mikrokosmos penting bagi praktik-praktik berkelanjutan. Nilai-nilai seperti pengelolaan sumber daya dan kesetaraan dipupuk dalam keluarga, yang memungkinkan dampak sosial yang lebih luas.

Keluarga memainkan peran penting dalam membina keberlanjutan sosial dengan menanamkan nilai-nilai seperti empati, kerja sama, dan inklusivitas. Nilai-nilai ini penting untuk membangun masyarakat yang kohesif yang mampu menghadapi tantangan sosial dan ekonomi. Di Indonesia, praktik-praktik tradisional seperti gotong royong (kerja sama timbal balik) mencerminkan peran utama keluarga dalam mempromosikan solidaritas dan kesejahteraan kolektif. Dengan menanamkan nilai-nilai ini pada generasi muda, keluarga berkontribusi pada ketahanan dan keberlanjutan masyarakat secara keseluruhan.

Selain itu, keluarga berperan sebagai agen utama mobilitas sosial. Akses terhadap pendidikan, layanan kesehatan, dan peluang ekonomi dalam konteks keluarga memungkinkan individu untuk terbebas dari kemiskinan dan meningkatkan kualitas hidup mereka. Menurut laporan tahun 2022 oleh Bank Pembangunan Asia, negara-negara dengan sistem dukungan keluarga yang kuat cenderung mencapai tingkat kesetaraan dan stabilitas sosial yang lebih tinggi. Oleh karena itu, para pembuat kebijakan harus memprioritaskan inisiatif yang berpusat pada keluarga yang meningkatkan akses ke sumber daya penting ini sambil mengatasi ketidaksetaraan sistemik.

Poin Kedua: Dinamika Keluarga dan Geopolitik

Konflik geopolitik dan perang berdampak buruk pada struktur keluarga, yang sering kali menyebabkan keruntuhannya. Di wilayah yang terkena dampak konflik, keluarga sering kali mengungsi, terpisah, atau bahkan hancur, dengan jutaan orang terpaksa meninggalkan rumah mereka. Menurut laporan UNHCR tahun 2022, lebih dari 35 juta anak di seluruh dunia mengungsi karena perang dan konflik, yang mengakibatkan putusnya ikatan keluarga dan hilangnya bimbingan orang tua. Di Indonesia, pengalaman historis konflik di Aceh dan Papua menggambarkan bagaimana kerusuhan yang berkepanjangan dapat memecah belah masyarakat, membuat anak-anak menjadi yatim piatu dan keluarga terpecah belah. Ketidakstabilan seperti itu tidak hanya merusak kekompakan keluarga tetapi juga melanggengkan siklus kemiskinan dan trauma yang berlangsung selama beberapa generasi.

Lebih jauh lagi, perang memperburuk kesulitan ekonomi dan mengganggu akses terhadap kebutuhan dasar seperti pendidikan, perawatan kesehatan, dan pekerjaan, yang selanjutnya melemahkan keluarga. Di Suriah, misalnya, lebih dari 80% penduduk hidup di bawah garis kemiskinan akibat konflik yang terus berlangsung, dengan keluarga menanggung beban utama keruntuhan ekonomi. Ketiadaan unit keluarga yang stabil dalam situasi seperti itu membuat anak-anak kehilangan dukungan emosional dan rasa aman, yang sangat penting bagi perkembangan mereka. Menangani dampak konflik geopolitik terhadap keluarga memerlukan upaya global yang terkoordinasi untuk mempromosikan perdamaian dan memastikan perlindungan bagi populasi yang rentan.

Sebagai Kesimpulan

Izinkan saya memberikan lima rekomendasi utama untuk langkah-langkah yang harus diambil pada skala nasional dan global guna memperkuat keluarga:

1. Mempromosikan Kebijakan yang Berpusat pada Keluarga: Pemerintah dan organisasi internasional harus memprioritaskan inisiatif yang mendukung keluarga, seperti pengasuhan anak yang terjangkau, cuti orang tua, dan akses terhadap pendidikan dan perawatan kesehatan.

2. Menangani Ketimpangan Demografis: Menyeimbangkan pertumbuhan populasi dan distribusi sumber daya memerlukan penghormatan terhadap nilai-nilai budaya sambil mempromosikan kesetaraan gender dan hak-hak reproduksi.

3. Membina Solidaritas Global: Negara-negara berpendapatan tinggi harus mengambil tanggung jawab yang lebih besar dalam mengurangi dampak buruk perubahan iklim dan mendukung pembangunan yang berpusat pada keluarga di wilayah berpendapatan rendah.

4. Memanfaatkan Teknologi untuk Inklusi: Seperti yang disebutkan sebelumnya, konflik geopolitik menyebabkan gangguan besar bagi keluarga, terutama di zona konflik. Di beberapa negara berpenduduk mayoritas Muslim, konflik sering kali bermula dari kebencian antar agama yang dieksploitasi oleh para penghasut perang.

Di Indonesia, meskipun tidak ada perang, banyak keluarga yang retak ketika beberapa anggota menjadi radikal dan bergabung dengan kelompok ekstremis. Menurut penelitian Badan Nasional Penanggulangan Terorisme (BNPT) pada tahun 2023, tiga kelompok rentan yang menjadi sasaran radikalisasi adalah perempuan, remaja, dan anak-anak. Mereka terpapar ideologi radikal, takfirisme, dan intoleransi melalui propaganda yang disebarkan melalui internet. Oleh karena itu, internet dan media sosial harus dimanfaatkan untuk mempromosikan nilai-nilai toleransi, saling menghormati antar agama dan sekte yang berbeda, dan penolakan kekerasan atas nama agama.

5. Meningkatkan Kolaborasi Interdisipliner: Akademisi dan praktisi dari berbagai bidang harus berkolaborasi untuk mengatasi interaksi kompleks antara struktur keluarga, keberlanjutan, dan geopolitik global.

Hadirin yang terhormat, Keluarga adalah tempat kita belajar tentang cinta, empati, dan tanggung jawab. Di tengah tantangan global, peran keluarga tetap tak tergantikan sebagai benteng terakhir dalam membangun masyarakat yang adil dan berkelanjutan. Masa depan yang kita impikan hanya dapat terwujud jika keluarga, sebagai fondasi kehidupan, kuat dan harmonis.

Mari kita bersama-sama berkomitmen untuk memperkuat institusi keluarga melalui kebijakan publik, pendidikan, dan pendekatan budaya. Dengan demikian, kita dapat memastikan bahwa ikatan keluarga tidak hanya bertahan lama tetapi juga menjadi kekuatan pendorong untuk menciptakan dunia yang lebih baik bagi generasi mendatang.

Terima kasih.

Wassalamu’alaikum warahmatullahi wabarakatuh.

Disebutkan, di sela-sela seminar internasional ini diadakan pameran foto keluarga Gaza dan rakyat yang teraniaya di Palestina, dalam 5 tema dengan judul: Harapan dan masa depan, keluarga, ikatan yang berkelanjutan, perlawanan dan pelestarian nilai-nilai, perang yang menghancurkan keluarga, dan solidaritas tanpa batas.

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *