PurnaWarta — Polisi mengatakan bahwa bom lontong yang terduga milik teroris mempunyai daya ledak yang tinggi. Teroris tersebut diduga tergabung dalam kelompok Mujahidin Indonesia Timur (MIT) bernama Budirman alias Abu Alim alias Hanif alias Ambo memiliki daya ledak tinggi.
Hal itu diketahui dari pengujian kekuatan bahan ledak yang dilakukan oleh Detasemen Gegana Satbrimobda Polda Sulteng pada Sabtu (24/7).
“Serbuk yang ditemukan dalam bom lontong adalah bahan peledak dengan jenis high eksplosif atau berdaya ledak tinggi, di mana dalam radius 30 meter apabila paku atau gotri tersebut mengenai orang bisa mematikan dan radius 50 meter dapat melukai orang,” kata Wakasatgas Humas Madago Raya AKBP Bronto Budiyono.
Sebelum dilakukan pengujian, kata Bronto, tim gegana lebih dulu mengurai bom lontong tersebut dan ditemukan sejumlah bahan peledak.
Unsur bahan peledak dan material didalam bom lontong itu berupa detonator, serbuk warna coklat yang diduga bahan peledak, 29 biji paku panjang 4 cm kondisi berkarat, serta 60 butir gotri serta lakban.
Disampaikan Bronto, selain untuk mengetahui daya ledak bom lontong, pengujian itu dilakukan sebagai salah satu proses dari rangkaian penyelidikan.
“Untuk melengkapi langkah-langkah penyelidikan atau penyidikan dalam rangka penegakan hukum tindak pidana terorisme,” ujarnya.
Diketahui, pada Sabtu (17/7) lalu, Satgas Madago Raya menembak mati seorang anggota kelompok Mujahidin Indonesia Timur (MIT) pimpinan Qatar alias Farel alias Anas.
Dari hasil identifikasi, identitas terduga teroris itu adalah Budirman alias Abu Alim alias Hanif alias Ambo. Ia diketahui telah masuk dalam Daftar Pencarian Orang Detasemen Khusus 88 Antiteror sejak 2015.
Abu Alim juga disebut telah menjadi anggota Jamaah Ansharut Tauhid sejak 2012. Ia juga diketahui pernah mengajak Na’e alias Galuh untuk ke Poso bergabung dengan asykari yang dipimpin oleh Santoso alias Waluyo alias Abu Wardah.
Sementara Na’e diduga terlibat dengan peledakan bom di Pondok Pesantren Umar Bin Khattab, Desa Sanolo, Kecamatan Bolo, Kabupaten Bima 11 Juli 2011.