Jakarta, Purna Warta – PT Bursa Efek Indonesia (BEI) menyiapkan sejumlah langkah strategis guna meredam dampak negatif perang tarif yang dilancarkan Amerika Serikat terhadap kinerja pasar modal Indonesia. Diketahui, Presiden AS Donald Trump telah menaikkan tarif terhadap Indonesia menjadi 32%.
Direktur Utama BEI, Iman Rachman, mengungkapkan bahwa pihaknya menyiapkan tiga strategi utama untuk menjaga stabilitas dan daya saing pasar modal. Strategi pertama adalah melakukan diversifikasi produk di perdagangan saham.
“Kami melakukan diversifikasi mulai dari produk, termasuk structured warrant, single stock futures, hingga KBI kontrak berjangka asing,” kata Iman dalam konferensi pers di Main Hall BEI, Jakarta Selatan, Selasa (8/4/2025).
Langkah kedua adalah meningkatkan likuiditas pasar saham dan penguatan infrastruktur teknologi. Peningkatan ini, menurut Iman, penting untuk mengantisipasi lonjakan aktivitas perdagangan.
Peningkatan infrastruktur IT bahkan diyakini dapat menopang kenaikan volume perdagangan hingga tiga kali lipat.
Strategi ketiga adalah memaksimalkan potensi dari produk-produk eksisting, terutama melalui initial public offering (IPO). BEI berharap IPO-IPO mendatang mampu mendorong pencatatan saham dengan kualitas lebih baik.
“Kita terus berusaha untuk makin banyak IPO-IPO yang berkualitas, dengan size (aset) yang cukup besar, di mana yang dikatakan lighthouse, yaitu market cap-nya yang atas Rp 3 triliun,” ungkapnya.
Untuk langkah jangka pendek, BEI telah mengimplementasikan sejumlah kebijakan seperti buyback saham tanpa melalui Rapat Umum Pemegang Saham (RUPS), penyesuaian batas auto rejection bawah (ARB), serta trading halt atau penghentian perdagangan sementara.
Dalam kesempatan yang sama, Direktur Pengembangan BEI Jeffrey Hendrik menjelaskan bahwa kondisi fluktuatif pasar saham dunia saat ini merupakan bagian dari proses price discovery atau penentuan harga akibat ketidakpastian global.
“Kondisi makro ekonomi yang kita yakini masih baik secara fundamental, emiten kita juga masih baik. Secara global adanya peningkatan risiko yang ditempatkan pada resiprokal tarif AS sehingga ini dinilai bisa memicu inflasi sehingga terbuka potensi untuk suku bunga lebih tinggi di AS dan ketidakpastian yang terjadi dari kondisi tersebut,” jelasnya.