Jakarta, Purna Warta – Peraturan Pemerintah (PP) Nomor 28 Tahun 2024 tentang Pelaksanaan UU Nomor 17 Tahun 2023 tentang Kesehatan, serta Rancangan Peraturan Menteri Kesehatan (RPMK) terkait Pengamanan Produk Tembakau dan Rokok Elektronik, dinilai berpotensi mengancam keberlangsungan Industri Hasil Tembakau (IHT).
Baca juga: Gibran Hadiri Pembekalan Calon Menteri di Hambalang
Ketua Umum PP FSP RTMM-SPSI, Sudarto AS, menyatakan bahwa sekitar 143 ribu anggota FSP RTMM-SPSI menggantungkan hidup pada sektor IHT sebagai tenaga kerja di pabrikan.
“Kebijakan ini secara terang-terangan dapat mematikan industri hasil tembakau nasional. Sekitar 226 ribu tenaga kerja anggota organisasi dari industri terkait berisiko terdampak oleh regulasi tersebut,” ujarnya dalam keterangan resmi, Selasa (15/10/2024).
Sudarto menyayangkan Kementerian Kesehatan (Kemenkes) yang tidak melibatkan RTMM-SPSI dalam pembahasan pasal-pasal terkait tembakau di RPP Kesehatan. “Padahal, produk tembakau adalah produk legal yang diakui negara dan sektor IHT telah menjadi sumber pendapatan besar bagi negara serta menyerap jutaan tenaga kerja,” ungkapnya.
Oleh karena itu, Sudarto meminta Kemenkes mengeluarkan aturan produk tembakau dari RPP Kesehatan. Menurutnya, banyaknya larangan terhadap produk tembakau dalam RPP Kesehatan dianggap mengkhianati amanat UU Kesehatan yang sama sekali tidak melarang produk tembakau.
Ia berpendapat bahwa aturan yang saat ini berlaku, yaitu PP Nomor 109 Tahun 2012, sudah cukup komprehensif dalam mengatur pengendalian produk tembakau. “Aturan tersebut sebaiknya dipertahankan dan diperkuat implementasinya, bukan diganti tanpa evaluasi yang komprehensif,” tambahnya.
Peneliti Institute for Development of Economics and Finance (INDEF), Tauhid Ahmad, juga menyuarakan keprihatinan serupa. Menurutnya, kebijakan yang tertuang dalam PP 28/2024 dan RPMK, seperti kemasan polos tanpa merek, larangan berjualan di sekitar satuan pendidikan dan tempat bermain anak, serta pembatasan iklan luar ruang, berpotensi memberikan dampak ekonomi yang besar.
Tauhid memperkirakan bahwa penerapan aturan ini dapat menimbulkan kehilangan dampak ekonomi hingga Rp308 triliun, atau sekitar 1,5% dari PDB. Selain itu, dampak terhadap penerimaan pajak diperkirakan mencapai Rp160,6 triliun, setara dengan 7% dari total penerimaan perpajakan nasional.
Baca juga: Erick Thohir Akan Evaluasi Timnas Indonesia Usai Kalah dari China
“Kebijakan ini juga berpotensi mempengaruhi sekitar 2,3 juta tenaga kerja di sektor IHT dan produk turunannya, atau sekitar 1,6% dari total penduduk yang bekerja,” katanya.
Tauhid menekankan pentingnya pelibatan seluruh pemangku kepentingan dalam ekosistem IHT, termasuk kementerian dan lembaga yang terlibat, mengingat Indonesia memiliki ekosistem IHT yang kompleks dan berbeda dari negara-negara yang telah meratifikasi Framework Convention on Tobacco Control (FCTC), di mana kontribusi pajak rokok relatif rendah.
INDEF merekomendasikan pemerintah untuk merevisi PP 28/2024 dan membatalkan RPMK, terutama pada pasal-pasal yang berpotensi berdampak negatif pada penerimaan dan perekonomian negara. Selain itu, INDEF mendorong dialog antar kementerian dan lembaga terkait, seperti Kementerian Koordinator Bidang Ekonomi, Kementerian Perindustrian, Kementerian Perdagangan, Kementerian Keuangan, Kementerian Ketenagakerjaan, Kemenkes, dan Kementerian Pertanian.
“Jika regulasi tersebut tetap diberlakukan, pemerintah diharapkan mencari sumber penerimaan negara alternatif yang hilang serta menyiapkan lapangan pekerjaan baru bagi tenaga kerja yang terdampak,” pungkasnya.